Pusparagam Puisi
Showing posts with label Pusparagam Puisi. Show all posts

Monolog Aku Dia

February 25, 2020




Aku diam saja.
Dia tetiba datang, meminta upaya.

Aku kegirangan.
Dia tetiba menebar banyak pertanyaan.

Aku semakin tinggi bermimpi, tentang itu-ini.
Dia tetiba seperti mengamini.

Aku berharap dia tahu.
Dia tetiba berseru, "Aku menunggu kau memulai lebih dahulu."

(IPM)
Sketsastra, 2020


#Ilustrasi diunduh dari sini


Read More

Hanya untuk Satu Nama

December 28, 2012





Hanya untuk satu nama

Gadis jelitaku, menawan setiap jeli mata

Berkilau, hingga aku dan kalian menyingkap silau

Kala dia tersipu, aku buru-buru merasuk maju, memburu, senyumnya yang lamat-lamat melagu



Kudengarkan nadinya berdetak, selaksa ada sayap yang mengepak-ngepak

Sangat perlahan, sangat rupawan

Siapa dari kalian yang tidak tergoda?

Adakah kalian membuang muka, setelah dia –yang kusanjung– menatapmu sengaja?



Oh, padahal, kau tak bisa memandang hitamnya rambut

Tak sanggup pula menyentuh eloknya kulit

Tapi, perangai yang tertutupi, sungguh akan semakin mewangi

Kain penutup itu, terlagi penghalang mata, adalah pasanganmu yang sempurna

Cantik, tak harus terbuka, bukan?

Lalu lirik matamu merunduk, memagut sesiapa yang lewat membungkuk

Perempuan Jawa, memang indah dalam setiap tuturnya

Kau menepikan singgung senyum, mengesapnya hingga kian ranum



Sebenarnya, aku ingin: demi detik merasa, demi hari menjaga, serta demi tahun menjelma, menjadi pangeranmu

Satu lelaki, dengan tangan kiri di saku, lengan kanan erat memeluk ragamu

Jemari ini pun rela berjalan mesra, ketika kami berjanji di depan kitab kita

Aih, puisi atau juga syair-syair, terkadang ialah ungkapan hitam seorang penulis, untuk seseorang: kamu



Tetapi adakah kamu mengerti?

Akankah engkau merasa, jikalau setiap larik puisi adalah tercipta hanya untukmu, Tya?

Maka kulekatkan namamu di awal dan akhir sajakku

Hanya untuk satu nama: Dia, kekasihku..

(IPM)



Bandung, Sketsastra 2012

#Ilustrasi diunduh dari sini
Read More

Gemerisik Rasa

August 23, 2012



Gemerisik rasa mengundang tanya

Ke arahmu, juga ke arahnya

Ialah dia, yang melukismu dengan 

merah bibir-bibirnya yang tak bertulang

Menghapus sesekali, lalu jemari menyepuh lagi



Pedih, bukan?

Aku pun mulai menerka: lebih getir mana, 

hampa ataukah rasa, yang diam-diam 

kaurajut bersama senja



Ingatkah, dia yang lain pernah mendekapmu, 

erat, yang bertali pekat

Tapi tiba-tiba dia melepasmu, dengan cepat



Kau yang tak siap, mencari-cari 

bayangnya hingga ke balik tirai

Menghujamkan jarum-jarum tepat ke uluh rindumu

Lantas, dia, yang kausanjung -di lain tempat- sedang 

menggenapkan senyum lain perangai



Harapmu melayang, menjemput ganjil wajahnya

Tapi dia toreh belaimu, dengan luka

Sesakit itukah cinta yang tak berbekas?

Adakah raga, atau jiwa yang sanggup membebas?



Kau melempar tanya ke angkasa

Terdengarkah jeritan ini, wahai bintang?

Tertangkapkah getaran ini, duhai rembulan?

Mereka saling bertatap, tak menjawab



Diam, barangkali lebih lekat daripada 

kata-kata pekat, yang selalu memeluk erat

Menangislah, di pundak ini, terukir secerca lukaku

Tepat ketika air matamu jatuh, luka itu seketika sembuh



Kemudian kita tersenyum, dan lupa 

semalam utuh kita saling berbagi peluh

Peluh yang lelah, tapi mengundang isak lega

Ialah aku, yang masih terpejam di sisimu

Yang tahu, jikalau malam tak lagi menemanimu


(IPM)

Surabaya, Sketsastra 2012


#Ilustrasi diunduh dari sini

 

Read More

Pelajaran Menghapus Bayang

August 18, 2012

 


Ada wajah di Stasiun Hall Bandung

Terdiam, pekat memandang wajah terpasung

Berbahagialah, kau telah sampai

Meski raga, kian mati gemulai

 

Dongak tatapmu, tajam

Menghujam sekian mata, hingga memejam

Katamu: langit mendung, tak cerah

Tapi lihatlah! Dia mulai berkisah

 

Sejenak, aku menghenti langkah

Menengokmu, putihnya rona

Mata hitam putih, bercanda saling serasi

Sesengguk air mata, diam-diam menangisi

 

Lukamu, adalah sedih yang membeku

Kuhapus pelan, mengundang perih kenangan

Boleh saja kau berteriak, kencang, sangat kencang

Mengumpat, mencoba mencuri nama Tuhan

 

Namun, tidakkah kau bahagia?

Adakah kau merasa gelisah?

Berbaringlah bersamaku,

akan kuajari kau: pelajaran menghapus bayangmu.

 

(IPM) 

Bandung, Sketsastra 2012

 


#Ilustrasi diunduh dari sini

 

Read More

Malam Berpaku Fajar

August 16, 2012



Malam di pertengahan fajar
Ramai, tak terdengar katamu, sungguh bingar

Ketika aku bersambang
Senyum itu, ringan mengembang

Lantas, aku terbang, melayang
Terkejutnya mentari, kau sungguh menarikku jatuh untuk tertatih

Berciri, dengan sanjungan khas wanita
Yang pelan, bernada, tapi sejenak kulihat hatiku berdarah

Merah, Sayang. Ini merah yang pekat
Lihatlah, bau amisnya kian menyengat

Tutup saja matamu agar tak memandang darahku, terlagi aku
Buang mukamu ke lain arah, tapi pintaku jangan ke belakang senja

Sebab itulah senja, yang paling kutakuti selain cinta
Senja yang putih, yang menjelmaku pergi, atau perlahan mati.

(IPM)
Sidoarjo, Sketsastra 2012

#Ilustrasi diunduh dari sini
Read More

Jumpa dalam Pisah

August 08, 2012



Sunyinya malam, membuat kau bermata.
Berkata, mencari seseorang dalam gulita.
Tak ada: kau bergema gelisah.

Dalam rinainya siang, kau bertelinga.
Menangkap dentum syair, dari balik jendela.
Kau lihat: tak ada sesiapa.

Di balik hangatnya subuh, hujanmu turun.
Perlahan, namun kian mendekap pelan.
Hantu kenangan datang, lantas kau berontak, menghalang.

Ketika petang memeluk, kau tak ada di pelupuk.
Membirukan asa, yang kaucari ternyata, akan bersua.
Tak tertemui, dia di sini bersamamu: raga mati.

(IPM)
Bandung, Sketsastra 2012


#Ilustrasi diunduh dari sini
Read More

Followers