Perempuan yang Berkunjung ke Rumah

June 30, 2014





Aku menyukai perempuan yang pernah kuajak berkunjung ke rumah. Aku lupa tepatnya kapan. Tanggal, jam, baju yang kamu kenakan, warna kain penutup kepalamu, hingga sepasang sepatu di kakimu aku lupa bagaimana bentuknya. Mungkin juga kamu hanya bersandal jepit, aku juga tak mengingatnya.

Namun, satu yang kuingat: senyummu. Lebih terkejut, ternyata Ibu dan Adikku juga mengingat senyummu. Entah, senyum macam apa itu, yang bisa menyihir sesiapa.

“Dia itu luwes, Nak, cepat nyambung kalau ngobrol sama Ibu dan Adikmu tadi. Berbeda dengan temanmu yang lain,” komentar Ibu ketika kamu pulang.

Sebenarnya, tidak hanya kamu yang berkunjung. Ada beberapa orang, teman lelaki dan perempuan. Hampir belasan kukira. Akan tetapi, mengapa Ibu dan Adik justru memilihmu menjadi topik pembicaraan setelahnya?

Di tengah pertemuan itu, kamu meminta izin untuk ke kamar adikku. Hanya berdua. Tak banyak bicara, Adik lantas bilang, “Ini urusan perempuan, Mas di sini saja.” Oh, memang rumit apabila ingin mengerti segalanya perihal perempuan. Apalagi yang masih belum ranum, seperti kamu, serta adikku.

Setelah itu, kamu pamit, bersama teman lain. Ibu dan Adik ikut mengantar ke depan rumah.

“Siapa namanya, Nak, temanmu itu? Sepertinya baik anaknya, cantik pula,” pungkas Ibu, sambil membereskan piring saji.

Aku membisikkan namamu ke telinga Ibu dan seketika Ibu berkelakar, “Bagus namanya. Kalau kamu suka, kejar dia! Pasti banyak di luar sana yang juga suka sama dia.”

Aku mematut diri barang sebentar, lalu balik berpaling menuju Ibu yang tengah berjalan ke dapur. “Bu, iya, Bu, pasti!”

Sejak hari itu, aku punya mimpi: membawamu ke rumah ini lagi.
(IPM)

Surabaya, Juni 2014
Read More

Bulan yang Perkasa

June 21, 2014



Untuk D.

Kamu selalu suka apabila menganalogikanku sebagai bulan. Entah purnama, bulat separuh, hingga bentuk sabit. Bulan memang senantiasa berubah, tetapi akan tetap sama. Apabila sudah begitu, tanpa ada komando, maka kamu akan menakzimkan diri mewujud bintang.

Aku tentu saja tak pernah keberatan akan perumpamaan itu. Namun, kamu harus tahu jikalau bulan itu tak semandiri bintang. Bulan selalu menggantungkan asa ke sesiapa demi terlihat cerlang. Bulan bisa meredup, layu, hingga tak terlihat sementara waktu. Oh, dengan alasan itukah kamu menamaiku sebagai Bulan?

Jika benar, kalau boleh berpendapat, sejujurnya aku tak setuju. Wanita yang kamu anggap bulan ini sebenarnya tak sesedih itu. Wanita yang hanya malam datang baru terlihat ini juga tak serapuh itu. Wanita itu jauh lebih kuat daripada lelaki, Sayang. Jauh, teramat jauh.

Coba kamu bayangkan, rembulan mana yang bisa membunuh rasa rindu hingga menikam sembilu. Coba kamu cari, kira-kira dewi malam mana yang sanggup menahan jarak untuk tidak bertemu sepenggalah waktu. Kalau pun ada, tentu hanya beberapa. Atau, cuma persentase kecil. Dan, aku jamin namaku pasti ada di antaranya.

“Lalu, kamu ingin aku menyebutmu apa?” kamu bertanya.

“Entahlah...”

“Kamu bosan merupa Bulan? Kamu jenuh menganggapku Bintang?” kini nadamu mulai meninggi.

Dan, seperti halnya wanita lain, dengan tekanan, dengan keterpojokan, wanita cuma bisa diam. Seperti aku, yang hanya sanggup tersenyum menjawab tanyamu.

Obrolan ini bukan teruntuk menyalahkan. Bukan pula saling melempar tuduhan. Namun, lebih dari itu, harusnya kamu menangkap betul setiap maknanya. Bahwasanya wanita, memang teramat suka diberi sesuatu: coklat batang, permen, manik-manik, bunga, boneka beruang, sweater, baju tidur, hingga liontin yang akan menggantung di antara kerah dan leher. Tetapi, satu yang paling wanita suka: kepastian.

Kepastian akan selalu dinomorsatukan. Kepastian mendapatkan perhatian. Kepastian untuk senantiasa dibahagiakan. Dan lelaki, jikalau memang benar lelaki, hampir pasti utuh memahami.

Aku selalu suka kamu panggil Bulan. Aku selalu senang menyebutmu Bintang. Namun, aku akan lebih suka apabila kamu menganggapku sebagai Bulan Yang Perkasa. Yang tanpa sinarmu pun masih bisa bercahaya. Yang di saat kamu jauh kian sanggup berdiri teguh. Yang seperti murni pribadiku.

Ini rupa Bulanmu kini, cobalah lebih dalam lagi kau memahami...
(IPM)

Surabaya, Juni 2014
Read More

Selarik Surat untuk Ayah

June 15, 2014




Ayah, apa kabar? Bagaimana kehidupan di sana, apakah menyenangkan, atau biasa saja? Idham harap, Ayah selalu tersenyum di sana...

Ayah, maaf jikalau surat ini kurang formal. Sebab, jujur saja, Idham menuliskannya dengan tergesa. Idham ingin Ayah merasakan euforia yang sama sekarang. Tentu, bukan perkara bola, bukan. Tapi soal Ibu.

Pasti Ayah bertanya-tanya ada apa dengan Ibu? Tenang, Ayah, Ibu baik-baik saja. Seperti janji Idham dulu di depan jasad Ayah, Idham akan jaga Ibu, juga Adik, dengan sebaik mungkin. Jadi, Ayah tak perlu khawatir.

Hanya saja, Ayah, Idham ingin menyampaikan sesuatu. Kemarin tanggal 14 Juni, hari Sabtu, ada yang berbeda. Benar, Sabtu ini tak seperti biasa. Kenapa? Karena Ibu tengah berulang tahun, Ayah. Tahun ini usia Ibu genap 52 tahun. Sudah lewat setengah abad.

Ayah... Ayah pasti sudah lama tidak melihat wajah Ibu. Sejak delapan tahun silam. Iya, sejak Ayah pergi untuk selamanya meninggalkan kami dengan alasan dipanggil Sang Pencipta. Alasan itu klise, Ayah. Namun, tiap manusia pasti memakluminya.

Oh ya, Ayah, waktu Ayah tiada, saat itu Idham masih kecil, masih duduk di bangku SMP. Malah, Adik lebih parah, masih di SD kelas 5. Tapi, ternyata tanpa Ayah, kami masih sanggup hidup. Meskipun keadaannya tidak lagi sama. Tak mengapa, segala kejadian di dunia pastilah menorehkan hikmah. Dan, Ayah mengajarkan kepada kami bahwa hidup adalah perjuangan.

Ayah, Idham selalu bingung apabila ingin menjadi seorang lelaki ideal. Ketidakberadaan sosok Ayah membuat Idham mencari-cari. Mencari seseorang yang layak dijadikan panutan. Kalau Ayah menyuruh Idham bertanya pada Ibu, tentu itu berbeda. Sebab Ibu itu wanita, sedangkan Ayah adalah lelaki.

Lelaki berpikir dengan nalar dan logika, meski diimbangi dengan sekelumit perasaan. Akan tetapi, wanita dominan menggunakan rasa. Maka, jangan salahkan Idham jika nanti tumbuh dewasa tidak seperti Ayah, tapi seperti cara Idham sendiri. Ayah tidak menuntut, kan?

Ayah, di sini sekarang tengah dirayakan Hari Ayah Sedunia. Entahlah, sejak kapan hari tematik ini ada. Dahulu, saat Ayah masih ada, Idham tak pernah mengucap ‘Selamat Hari Ayah’, terima kasih, apalagi frasa mohon maaf. Oleh karena itu, Idham ucapkan saat ini juga kepada Ayah, hanya saja lewat tulisan, "Ayah, Selamat Hari Ayah Sedunia, terima kasih, serta maaf untuk segala salah."

Ayah, kiranya sudah cukup Idham berkabar. Oh ya, Idham ingin memberitahu. Sebenarnya, Idham belum kasih kado untuk Ibu. Tapi, Idham mau menjadikan larik surat ini merupa kado itu. Mewujud ungkapan narasi rindu tentang Ayah terdahulu.

Jujur, Idham ingin membacakannya di depan Ibu. Idham mau menyaksi Ibu tersedu air matanya. Bukan bersebab sedih, tetapi bahagia sembari mengingat memoria lama bersama Ayah.

Ayah, Ibu masih cantik, secantik Adik. Ayah pasti tidak percaya, padahal tak pernah Ibu melakukan perawatan atau totok aura. Oh iya, Ayah, doakan kami agar tetap diberi keberkahan hidup dari-Nya, seperti kami senantiasa mendoakan amal baik Ayah agar diterima oleh-Nya.

Ayah, Idham pamit dulu. Idham sudah besar sekarang. Akan tetapi, Idham tetap mau bilang, Idham rindu Ayah. Masih pantas, kan?

Sampai jumpa, Ayah, Idham janji akan terus memberi yang terbaik untuk Ibu dan Adik... demi Ayah.

Selamat Hari Ayah Sedunia!
Ayah terus tersenyum ya di surga.

Salam,
dari anakmu tercinta, Idham P. Mahatma.
Read More

Berat di Nama Almamater

June 11, 2014


Ceritanya, penulis blog ini (saya) tengah kerja praktik atau magang selama lebih kurang sebulan ke depan. Sebagai informasi, saya berasal dari jurusan kimia dan tinggal di Kota Surabaya sehingga (singkat kata) dipilihlah PT Pertamina Cab. Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya untuk menjadi tempat magang. Alasannya dekat rumah, serta ingin menghabiskan bulan puasa bersama keluarga.



Awalnya, saya bingung ketika sampai di lokasi pada hari pertama. Maklum, Pertamina di sini mengurus bagian bongkar-muat Bahan Bakar Minyak (BBM) dan pelumas dari kapal minyak segede gaban atau biasa disebut Ocean Tanker untuk ditampung di tangki raksasa dan didistribusikan ke seluruh bagian Provinsi Jawa Timur, sementara latar belakang penulis ialah seorang praktikan laboratorium.



“Apa yang bisa saya bantu di sini, Pak?” tanya saya ragu-ragu kepada mentor kerja praktik. “Kamu bisa bantu-bantu di Lab Quality Control­­-nya saja ya,” jawab beliau. Akhirnya, setelah mengurus bagian administrasi, diantarlah saya ke bagian Lab QC BBM dan pelumas.



Setiap hari, saya diwajibkan datang pukul 07.30 dan baru pulang setelah pukul 16.00. Jujur, saya salah kostum pada hari pertama magang. Kemeja bergaris cokelat dengan dominan putih, celana kain hitam, ikat pinggang berbahan kulit, serta sepatu pantofel dengan PeDe saya kenakan. Dan, setelah sampai di lapangan, apa yang terjadi? Ya, setelan tadi harus saya tanggalkan, diganti dengan Alat Perlindungan Diri (APD) semisal: helm, baju lapangan, rompi keamanan, dan sepatu berat dengan bahan menyerupai logam. “Well, tahu gini tadi datang pakai baju santai saja,” saya menggerutu.



Lebih parahnya, lab QC berada di area belakang sehingga saya harus berjalan melewati Zero Zone (zona dengan keamanan lengkap) untuk bisa sampai. Kalau sudah masuk lab, rasanya 180 derajat berbeda keadaannya. Ruangan luas ber-AC, bersih, serba putih, dan banyak peralatan yang otomatis. Lumayan canggih lab QC Pertamina yang satu ini. Satu lagi, APD tadi harus saya tanggalkan dan diganti baju saya tadi plus sandal lab dan jaslab. Ribet soal baju.



Kalau saya pikir-pikir, ruangan lab ini tidak asing. Bahan-bahan kimia seperti aseton, xilana, serta n-heksana, dapat dijumpai dengan mudah. Justru, aquadest (yang biasanya digunakan paling sering di lab kalau praktikum kuliah) di sini tidak ada. “Minyak kan tak boleh bercampur dengan air,” kata mentor magang. Sebagai zat pencuci, biasanya dipakai pertasol, bahan kimia dengan rantai karbon pendek (secara rinci, saya belum baca MSDS-nya).



Sebagai awalan, hari ini saya cukup dikenalkan dan diberikan tugas untuk adaptasi dengan lingkungan lab. Mulai dari kepala lab, analis, laboran, hingga cleaning service dan security semua saya salami. “Pak, saya Idham, mahasiswa baru, akan magang selama sebulan di sini,” kalimat saya membuka percakapan. Dan, hampir selalu mereka akan menjawab, “Mahasiswa dari mana, Mas?” Singkat saya jawab, “ITB, Pak.” Entah mengapa, raut mereka langsung berubah dan berkata, “Wah, hebat ya, nanti tanya saja kalau ada yang tidak mengerti.”



Ya, saya cukup senang dengan keramahan para petugas di sini. Namun, saya cukup khawatir dengan kapabilitas saya secara pribadi. Mereka memandang almamater saya (terlalu) tinggi. Sementara saya, hanya mahasiswa rerata, tanpa embel-embel bintang. Pelajaran hari pertama: saya harus menjaga wajah ITB selama sini. Banyak bertanya, banyak membaca, biar tidak malu-maluin.



Semoga hari berikutnya semakin berwarna, semakin berjaya. Bismillah, untuk 30 hari ke depan magang di Pertamina Surabaya.

(IPM)



Surabaya, 11 Juni 2014


Read More

Followers