Merayakan Hari Ini

March 30, 2021




Pernah kamu suatu hari bertemu seseorang. Tutur katanya indah, seakan sempurna bila bersanding dengan paras penuh pesona. Sejak awal, kamu sudah mengira bahwa jalan ceritanya pasti akan berbeda. Mulai saja kamu berandai akan ini dan itu bila nanti akhirnya merupa satu.


Namun, hidup bukan hanya tentang perencanaan. Selalu ada satu hal yang ikut, tapi tak diundang, selalu mengejutkan. Kisahmu berbelok arah, menuju jurang yang kamu sendiri pun takut untuk melihat kedalaman dasarnya.


"Bagaimana mungkin segalanya bisa seberantakan ini?” sergahmu.


Pertanyaan yang lebih bertujuan untuk menghardik takdir. Ketidakpuasan akan semesta yang tidak kompak mendukung. Kekhawatiran mengenai bagaimana plot ke depan yang semakin tak menentu.


Kamu mungkin telah banyak belajar tentang bagaimana seni berbahagia dengan selalu berserah. Meninggalkan utuh apa yang telah terjadi sebelumnya. Menurunkan ekspektasi. Bukan, bukan untuk menyesali, tetapi guna berterima kasih karena Tuhan telah berlimpah memberi.


Mungkin tidak selalu menyenangkan. Akan tetapi, setiap yang sakit, pasti membuatmu lebih kuat ketika sembuh. Setiap yang pahit, senantiasa mewujud rasa manis di kudapan akhir. Dan, setiap yang pergi, perlahan menyadarkanmu bahwa tiada yang abadi.

***


Boleh jadi kamu merupa seorang terkasih malam ini. Namun, ingatlah, tiada yang selamanya. Tugasmu sederhana: merayakan hari ini. Tidak menyesali, atau juga terlalu khawatir bermimpi.


Sebab, sekelam apapun dulu, masa depanmu masih suci menunggu…

(IPM)

 

Surabaya, Sketsastra 2021

#Ilustrasi diunduh dari sini

 

Read More

Belapati Pitaloka

March 07, 2021

 


Rintik turun cukup deras. Membasahi malam Minggu dengan kalut dan tirai gelap. Terperangkap saja dia dan kamu di sofa tengah apartment. Tempat mungil barumu yang harus kamu jelaskan berapa kali ke orang tuamu karena lebih merekomendasi bangunan rumah daripada sepetak lahan di tinggi gedung bertingkat untuk kamu pilih.


“Lebih simple, akses mudah ke mana-mana,” belamu.


Tentu, tidak ada yang lebih bosan daripada berdiam menghamburkan waktu di awal malam. Dia masih mencari series atau film favoritnya di Netflix. Kamu, bergulat dengan kolom berita di CNBC atau Kontan, melihat apa yang akan bergerak bullish, bearish, atau sideways dengan sok tahu.


Karena gamang, sikap ke-tidak-bisa-diam-nya beranjak ke rak bukumu. Deretan buku novel dan sastra yang mengisi barang separuh masa perkuliahan. Tentu, tidak sejalan dengan bidang yang kamu tekuni kini, tapi siapa peduli?


“Bacaan itu wajib, apapun bentuknya. Fiksi sekalipun, tak mengapa,” jawabmu, saat rekan berkunjung dan kagum dengan koleksi unik buku-buku itu.


Bilangan Fu yang dia pilih. Merapatkan diri ke sofa lagi sambil sesekali melihat ke arahmu. Tak beranjak kamu dari tadi, masih sotoy menganalisa candlestick dengan pelbagai variasi. Katanya, buku yang apik akan menenggelamkan pembacanya. Sepertinya, kamu juga akan hanyut dalam hitungan menit lewat tulisan Ayu Utami itu.


“Kamu sudah baca ini? Sampai habis?”


“Harusnya iya, tapi lupa detil isinya. Dulu sekali. Ada perang-perang ceritanya,” seadanya saja responmu.


Entah perang apa yang kamu ingat. Kadang, refleks saja kamu menjawab kalau tetiba disodorkan pertanyaan dadakan. Nantinya, kamu pasti merevisi jikalau alpha, “Ah, lain buku ya, okay revisi, sorry.”


“Pitaloka,” sergahmu, “Sedih ya jadi Pitaloka, mengharap kisah bahagia, tapi diterpa nestapa.”


“Siapa dia?” tanyamu singkat.


Benar saja, rasanya kamu salah buku. Dikisahkan, dalam beberapa laman buku itu, Hayam Wuruk, seorang pimpinan Kerajaan Majapahit jatuh hati dengan putri Padjajaran, Diah Pitaloka. Pinangan pun dikirimkan. Tidak bertele seperti saat ini, lamaran diterima, serta pernikahan siap dilangsungkan.


Di lain sisi, Gajah Mada, Patih Kerajaan Majapahit, dengan sumpah terkenalnya, Sumpah Palapa, masih berambisi besar untuk menyatukan Nusantara di bawah naungan Majapahit. Momen ini, salah satu yang ditunggu. Dengan pernikahan Putri Diah Pitaloka dan Raja Hayam Wuruk, tentu bisa jadi dimanfaatkan sebagai momen penaklukan Kerajaan Padjajaran oleh Kerajaan Majapahit.


Sedikit tak biasa. Pernikahan justru diisyaratkan diadakan di tanah Majapahit, bukan di tempat pengantin putri. Rombongan Padjajaran pun berangkat. Namun, mengetahui adanya maksud lain dari Patih Gajah Mada, mereka menolak. Perang Bubat pecah. Oleh karena kalah jumlah dan persenjataan, rombongan Padjajaran pun habis. Putri Dyah Pitaloka, yang masih bernyawa, memilih untuk belapati, tindakan bunuh diri untuk membela kehormatan kelompoknya.


Raja Hayam Wuruk tentu berduka. Namun, peristiwa itu justru tidak mendamaikan antar kedua kerajaan. Hubungan baik pun hanya harapan. Bahkan hingga kini, stereotip tidak diperbolehkannya memadu kisah romansa, terlebih pernikahan, antara turunan tanah Majapahit dan Padjajaran masih melekat kuat.


Ceritamu berhenti sampai di sana. Kisah yang kecut untuk dinikmati di kala penghujan. Dongeng yang membuat susah tidur malam. Serta, setelah bercermin, kalian mulai bertanya, apakah iya stereotip itu masih ada?


“Aku Jumat depan balik ke Bandung. Naik Turangga.”


“Siap, aku antar sampai Gubeng ya.”

(IPM)

 

Idham PM | Sketsastra 2021

#Ilustrasi diunduh dari sini

#Cerita terinspirasi dari Bilangan Fu karya Ayu Utami

 


Read More

Followers