Mengenang Hari Lahirmu

May 31, 2014




Ketika kamu mengenang hari lahirmu, maka kamu akan sadar bahwa usiamu tengah bertambah. Semakin hari, semakin tua. Semakin waktu, seharusnya semakin dewasa. Lambat laun, kamu akan berpikir lebih panjang, lebih kompleks. Dunia orang dewasa memang rumit, bukan?

Hari ini, usia penulis bertambah satu nominal: 21 tahun. Angka ganjil ini semoga menjadi titik balik hidup. Tak peduli sedikit atau signifikan, asalkan berubah ke arah lebih baik. Terus mengembangkan diri, terus bermanfaat untuk hidup orang lain.

Aku akan diam. Semakin sunyi. Tanpa banyak kata.
Aku akan bergerak. Semakin banyak bertindak.
Aku, masih terus menjadi aku, dengan sisi-sisi yang baru.

Surabaya, 31 Mei 2014
Read More

Penunjuk Waktu dari Sahabat

May 28, 2014





Aku tiba paling pertama pagi itu, sebelum kalian datang. Namun, justru aku yang paling awal mendahului kalian pergi. Menutup pintu kendaraan kalian, tapi dari luar.

“Aku duluan ya, selamat bersenang-senang,” teriakku. Dan, serta-merta klakson kendaraan kalian melagu.

Ya, kalau tidak ada agenda lain, dan se-urgent itu, pasti aku kesampingkan demi menikmati udara Kota Kembang bersama. Namun, apa mau dikata, tanggung jawab adalah tanggung jawab.

Aku tidak terlalu kecewa sebab alpha dari presensi seharusnya. Kalian, selalu akan menjadi sahabat. Jumlah kita genap, bukan? Ber-empat-belas. (Ade, Amila, Arizki, Ayul, Deby, Dian, Imana, Ipul, Irfan, Lu’lu’, Suci, Ummi, Wendi, serta aku).

Penunjuk waktu ini akan setia berdiri. Mengingatkan detik, menit, serta jam yang telah kita lalui bersama.

Terima kasih, sampai jumpa di semester berikutnya.

Surabaya, Mei 2014

Read More

Memuji Masakanmu

May 24, 2014




Kamu kurang bisa memasak, itu yang aku tahu. Namun, aku akan tetap suka. Tak perlu kamu khawatir rasaku berubah. Resto dan warung nasi aku kira masih bisa mengenyangkan masing-masing dari kita.

“Apa kau tak ingin aku memasak hidangan untukmu?” dia bertanya.

“Ingin, tapi sebisamu saja, aku tak memaksa...”
***

Pernah suatu hari kamu membawakanku sepotong kue bolu. Darimu aku mengerti jika kue ini ialah hasil jeripayahmu tadi pagi. Kamu membungkusnya rapi, untuk kemudian tersaji di antara lilin-lilin meja makan.

“Ini untukmu, cobalah...”

Oh, betapa kue ini hambar. Manis tidak, legit tidak. Akan tetapi, siapa yang tega mencerca setiap pemberianmu. Dengan senyum terindahku, lantas aku berkata, “Buatkan aku lagi yang seperti ini lain kali.”

Kamu tersipu. Sejenak, kamu merasa begitu cocok untuk jadi seorang ibu.
***

Kue itu masih tersisa, barang secuil saja. Tak beruntung, ibumu mencicipi hasilnya.

“Ini kue dari mana? Hambar sekali,” tuturnya.

“Tapi, Bu, kata Atma kuenya enak. Bahkan, dia minta dibuatkan lagi lain kali.”
***

Sudah kubilang, kamu kurang bisa memasak, itu yang aku tahu. Namun, aku akan tetap suka. Sudah, tenanglah...

Bandung, Mei 2014
Read More

Membahagiakanmu

May 20, 2014





Semua orang berhak untuk berbahagia...

Kamu, yang sedari dulu menaruh harap akanku juga berhak untuk dibahagiakan. Hidup ini sebenarnya untuk apa? Untuk saling membahagiakan, bukan? Lalu, ke mana saja selama ini aku? Mencari ketidakpastian? Mencari kesempurnaan?

Hingga lelah kaki ini melangkah, tak juga kutemukan arah dan tujuannya. Maka, jikalau suatu saat nanti aku balik mencintai, apakah kau sudih menerima lagi?

Jawablah, tapi dalam hati saja. Aku tahu jawabmu itu memiliki makna apa...

Bandung, Mei 2014

Read More

Bertatap dengan Green Canyon

May 06, 2014




Ternyata bumi Tuhan itu luas...

Sehari lalu, aku berkunjung ke tanah lapang berdekat tenang perairan hijau. Masyarakat sekitar menyebutnya Green Canyon. Namun, aku tak seberapa peduli tentang makna nama tempat itu. Yang kutahu hanya ingin aku menghirup udara bebas, tanpa kungkungan gedung-gedung pencakar yang menyesakkan.

Perahu kayu bersayap di kedua sisi mengantarku ke tengah perairan. Lebih jauh, rutenya menepi ke arah muara dekat lautan. Ombak begitu kencang, sementara perairan cukup dalam. Oh, dari atas perahu tiada yang memakai life jacket. Rautku berubah khawatir. Akan tetapi, batinku kontras, tertawa cukup keras.

“Sehina inikah menjadi manusia? Saat datang sebuah bahaya, barulah ingat kepada Sang Pencipta,” aku tengah berbicara dengan diri sendiri.

Bibir ini berbisik pelan, ber-istighfar, sembari berdoa agar selalu diberi keselamatan. Kalau dipikir, begitu lemah raga ini dibandingkan segala cipta-Mu. Hati yang terlalu angkuh, hanya tertiup oleh angin kuat lautan langsung jatuh meluruh.

Kalau saja raga ini tertimpa suatu bencana di sana, tiada yang mengerti bagaimana nasibku kini. Aku mungkin akan menimbang tentang seberapa berat amalan baikku di dunia. Lalu, sekejap saja, angan itu sirna berganti bayangan hitam akan seberapa banyak perbuatan dosa yang senantiasa ditunaikan.

“Ya Tuhan, ampuni aku... Jika kau cabut nyawaku sekarang, niscaya aku termasuk orang yang merugi. Maka, beri hamba-Mu waktu untuk memperbaiki diri,” nurani mulai membuncah lagi.

Tak berlama, perahu kayu ini berpindah haluan. Ke arah ketenangan, air yang hijau, hingga gemuruh yang tak lagi bersuara. Buku catatanku sengaja kubuka, menuliskan kisah yang akan kuguratkan.

Tentu, sebuah pengalaman tersendiri menulis cerita di atas perahu yang tengah berlayar. Dikelilingi hutan hijau lestari, beberapa tumbuhan air di permukaan, terik mentari, serta kamu.

Oh, kamu sedang tidak berada di sana. Kamu di sini, di anganku. Hasratku berandai bagaimana jika suatu saat nanti kamu kumiliki. Barangkali, akan kuajak kamu ke mari. Berdua saja, tanpa yang lain. Jangan khawatir, aku akan persiapkan dua buah life jacket untuk kita.

Aku ingin tahu, apakah kamu akan mau mengenakannya, atau justru kamu ingin menyerahkan keselamatanmu kepada Tuhan kita saja...

Bandung, Mei 2014

Read More

Followers