Cara Ayah Mati

March 06, 2020




Seberapa sering kau menatap mata ayahmu?


Pertanyaan itu dulu sanggup kujawab dengan lantang, dengan cepat dan tepat. Jawabnya singkat: aku selalu memandang mata itu tepat ketika usiaku bertambah. Di sana, masih kuingat wajah Ayah dengan dua bola mata yang utuh. Dan, kupastikan lekuk-lekuknya kian lengkap mengguratkan kesempurnaan.

Sungguh, dahulu ialah laksana kisah usang dalam hidup. Ada lintah-lintah yang gemar menghisap darah-darah kami hingga merahnya memudar. Tubuh kami pun gemetar menahan rasa getir karena penantian. Itulah elegi, kadang kala memang tak patut kau mengingatnya lagi.

Aku masih memasung memoria pahit tentang kepergian Ayah. Kepergian yang takkan mengisahkan kepulangannya kembali ke rumah. Pergi yang bermaksud melepaskan dahaga akan lebat cahaya sehingga sesiapa turut menginginkannya. Siapa yang tak ingin bertemu Sang Pencipta? Siapa pula yang enggan menatap wajah Tuhannya?

Itu pertanyaan retoris. Sebab segala hidup hanya untuk mempersiapkan mati. Serta, mati tidak enggan memilih nama. Dia tak akan bertanya apakah kau siap bertemu dengannya. Kala kau tak siap, mungkin mati merupakan jalan panjang air matamu yang abadi. Setiap pagi hingga malam matamu akan menangis merintih, kepedihan ialah raut keseharianmu, dahaga dan siksa merajammu sekelebat waktu, dan penyesalanmu hanya akan menjadi melankolia belaka. Tak berguna.

Namun, jikalau kau siap, barangkali mati adalah cita-cita terindahmu. Bertemu sambil bertatap dengan mata-mata jeli penghuni surga, bercengkrama bersama, menikmati ranjang-ranjang panjang yang pupus dari kerutan, hingga memakan apa saja tanpa pernah merasa kenyang ataupun bosan. Sungguh indah, bukan? Lantas, mengapa kau takut mati?

Suatu ketika Ayah pernah mengajariku tentang bagaimana cara mati yang indah. Tentu sebelumnya, dia akan bercerita dahulu akan episode-episode kematian. Darinya, kutahu ada beberapa episode kematian: ada mati terbakar, ada mati tertembak, ada mati tertabrak, ada mati karena menderita penyakit, serta ada mati tak bersebab. Jikalau Ayah disuruh memilih, dia pasti menunjuk satu episode kematian terakhir: mati tak bersebab.

Entahlah, aku tak mengerti mengapa Ayah menyukai cara mati seperti itu. Kukira mati tertembak lebih nikmat rasanya, karena tak menderita seperti halnya orang terbakar, tertabrak, ataupun sakit keras di atas paviliun rumah sakit yang hampa. Jelas ketiga episode mati itu sangat kubenci, dan aku tak pernah membayangkan bagaimana pahitnya nanti. Dalam hati aku berbisik: aku harus bisa mati tertembak.

Berkali kuceritakan keinginanku ini pada setiap teman yang kukenal: kepada guru, tukang kebun, pembantu di rumah, serta yang lain. Lantas, mereka menyebutku gila.

Siapa yang gila?

Apakah insan dilarang untuk mencita-citakan mati? Adakah pelajaran dalam bangku sekolah tentang pengkonsepan kematian? Dan aku semakin tak memedulikan semua, cukup makna yang akan menceritakan segalanya.

Dalam sejenak waktu, aku menitihkan beribu air mata ketika mendapat kabar sarat kesedihan. Kabar yang tiba-tiba muncul dari balik bibir Ibu tentang kematian Ayah yang tiba-tiba. Ayah pergi meninggalkan kami dengan sesegera. Dia tak mengisyaratkan apa-apa, kecuali permintaan baju putih terakhirnya.

Sungguh aku sangat mengenal Ayah, bahkan kian dekat nyaris tanpa sekat. Kuperhatikan, Ayah tak pernah meminta sesuatu. Segalanya akan dia terima dengan sabar dan bijak. Di rumah, tak ada waktu yang terbuang bersebab kemarahan. Tak ada nada tinggi dari Ayah. Selalu lemah dalam nada suara serta candaan renyah khas lelaki paruh usia.

Ayah juga tak pernah menakzimku menjadi seperti dirinya. Menjadi seorang yang berhasil menaklukkan masa pada interval usia muda. Dia selalu memberikan pilihan untuk aku ambil seorang diri. Darinya aku belajar tentang bagaimana menjadi lelaki, bagaimana menghadirkan damai di rumah, bagaimana bertanggung jawab kepada keluarga, serta bagaimana menghidupi hidupku sendiri. Ada banyak sekali yang diajarkan Ayah, barangkali yang lain aku melupakannya.

Kemudian datanglah hari teragung Ayah untuk berangkat menimba karier ketiga jenjangnya. Hari di mana dia bersiap pergi untuk suatu tujuan mulia. Hari di mana aku sengaja diutusnya mengantar hingga bayangnya tak sanggup terlihat bersebab roda kuda-kuda besi yang gemar berotasi. Tetapi, ada yang janggal dari Ayah. Dia meminta sepotong kemeja putih polos untuk dipakainya pada hari itu. Dalam pikirku, aku bertanya-tanya: mengapa harus warna putih? Adakah hitam atau merah bata yang lain?

Namun, itulah pinta pertama sekaligus yang terakhir dari Ayah. Dan bahagia bagi kami karena telah memenuhinya. Sekelebat waktu, Ayah kini telah berbaring damai dalam sunyinya liang sendirian. Berteman akrab dengan tanah serta renik-renik di dalamnya. Selamat tinggal, Ayah.

Barang tentu, tiada yang menduga tentang kabar kematian Ayah. Itu sangatlah persis seperti yang diidam-idamkan olehnya selama hidup, tentang tata cara mati yang indah: mati tak bersebab. Bukan karena tertembak, tertabrak, atau pun menderita penyakit tertentu. Ayah sehat dan mati tak bersebab. Sungguh indah, bukan? Tetapi aku masih mencitakan mati tertembak, seperti yang kukisahkan terdahulu. Tanpa sakit, tanpa rasa, serta hilang berganti tak terduga.

Era Ayah sungguh sangat berbeda denganku. Episode-episode kematian pun semakin mengisahkan perkembangan pesat pada zamanku. Ada tatacara mati yang baru: mati diracun bahan kimia, mati karena gangguan jiwa, mati bersama keluarga dengan alibi tak masuk akal, mati kelaparan, mati bersebab menanggung malu, serta mati terjun dari lantai gedung pencakar langit. Aih, itu bukan jalan mati yang elegan, tak ada seni yang menyertai. Manusia memang semakin kreatif, tetapi tak menjamin nilai akan tersimpan rapi di dalamnya.

Lima tahun pasca kematian Ayah, aku semakin tumbuh menjadi insan dewasa. Ada hal-hal yang kalian tak mengerti ketika ditinggalkan seorang kepala keluarga. Ada pula sesuatu yang tak kalian tahu mengapa aku masih sanggup berdiri menanggung beban hidup.

Bagiku, kehidupan ialah selaksa gelas-gelas kaca yang kosong. Tak berkerak. Bening. Jikalau kau mengisinya dengan air-air terindahmu, barangkali ia akan mengalun merdu membuaikan logika. Atau ketika kau menuangkan air-air terkeruhmu, boleh jadi setiap jernihnya tak akan pernah kaupandang lagi. Dan hidup sungguh merupakan miniatur dari hati, yang mengerti kapan tuannya akan mati.

Aku masih mencitakan mati tertembak hingga kini. Tak ada yang berubah dari tujuan itu. Bahkan, aku menunggu setiap hari kiranya kapan timah panas itu raib menghujam tengkorakku. Dalam fantasi, aku memimpikan hal itu terjadi cepat, sesegera.

Ada hari di mana ketidakadilan merajalela. Ibu pertiwiku menangisi biadab para pegawai pemerintah yang anggun dalam mencuri receh-receh rakyatnya. Moral dijual seribu tiga. Mereka mengenakan topeng-topeng khas cendekiawan yang seakan-akan bijak menyikapi persoalan. Ketika semua percaya, perlahan topeng-topeng pencitraan itu dibuka. Jeleknya wajah terpajang, tapi semua orang sudah terlanjur percaya akan janji-janji manis yang dingiangkan. Mungkin juga pada suatu hari nanti Tuhan akan sanggup mereka bohongi. Kini mereka semakin menjadi. Dan aku menolak kalian dengan jalan kerusuhan kaum muda di Senayan.

Kami menggugat ketidakadilan. Kami membawa seluruh pemuda dari pelosok negeri untuk memasung gerak ibukota. Di sini beberapa tembakan meluncur mulus seketika, bermaksud menakuti kami yang enggan pulang melangkah. Aparat mengejar. Kami tunggang langgang menghindar. Ada tetes-tetes emosi di raut para pengadil itu. Semakin lama, semakin liar aksi mereka menghalau seluruh adigdaya.

Dalam singkatnya kronologi, aku tertangkap. Mereka yang sedari tadi meneteskan liur-liur emosi malah semakin menjadi-jadi. Ditodongnya senapan hitam itu padaku. Aku yang memberontak menyusahkan pergerakan mereka, ditarik-tarik semau keinginannya. Lantas, pelatuk itu diayunkan, suara dentuman terabaikan.

Saat timah panas aparat menghujam tengkorakku yang lemah, mataku memejam seketika. Dalam sepenggalah detik, aku masih sempat mencerna: senyum kedua mata Ayah terlukis indah di hamparan aspal ibukota Jakarta.

Apa rasanya mati tertembak, namun sesiapa menganggapnya tak bersebab? Ya, setidaknya itu cukup elegan bagimu. Kematianku tertutupi, tiada hukum, terlagi saksi.
(IPM)

Bandung, November 2012
Idham PM | Sketsastra 2020


#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers