Nilai Sentimental

March 14, 2020




Sudah terlampau petang menurutmu untuk kembali pulang hari ini. Berbekal ingatan masa kecil, kamu memberanikan diri untuk berkunjung ke kawan lama. Cukup berkelok alamat yang kau cari, tapi berakhir bertemu.

Obrolan usang itu hanya selaksa bumbu pelengkap, sebelum akhirnya kamu berada di sebuah kamar, tempatmu untuk bermalam. Sesaat akan beranjak, sang pemilik rumah bercerita singkat tentang sebuah kursi di ujung ruangan. Kursi tua yang ditakzimkan dibuat oleh ayahnya dahulu. Dengan kegigihan, dengan susah payah.

Dahimu menyerngit. Sebenarnya, kalau dari kaca matamu, ia hanyalah kursi kayu usang biasa. Tak ada desain khusus. Lebih-lebih, barangkali kursi itu dibuat dengan tergesah dan sembarangan. Sudut-sudutnya tidak rapi. Peliturnya tidak beraturan. Namun, lebih dari yang lain, kursi itu punya kisah bagi pemilkinya.

Seperti juga dia. Sekelebat waktu pernah kamu berikan sebuah boneka padanya. Boneka beruang yang mainstream, karena setiap anak perempuan kecil pasti punya satu di sudut ranjangnya. Warna boneka itu tak istimewa. Lekuk dan jahitannya tidak sehati-hati itu, terlagi ia hampir pasti akan tertunduk lesu apabila tak dimainkan.

Namun, tak menahu, selalu riang dia hadiahkan saat memeluk boneka itu. Bahkan, sebelum terpejam, dia tidak pernah alpha memandangnya, tentu sembari membayangkan sesuatu, entah apa. Rasanya, boneka itu sangat berarti buat laman harinya.

Seketika, aku membandingkan kursi dan boneka itu. Memang benar, terkadang, makna sebuah barang jauh lebih dalam daripada tampilannya. Arti seutas perkakas lebih menarik daripada rupanya. Nilai sentimental itu, sungguh nyata menjadi pembeda di antaranya.

Aku tak punya kursi, terlagi boneka beruang. Hari ini, kamu bertambah usia. Aku titipkan saja nilai sentimental itu pada tulisan ini. Pelan-pelan saja kamu membacanya. Tenanglah, sebentar lagi aku akan sampai.

Idham P. Mahatma | Sketsastra 2020

#Ilustrasi diunduh dari sini.


Followers