Rintik Hujan yang Terlupakan

January 24, 2012



Kadangkala kita harus berhenti untuk mencintai...

UNGKAPAN perih dalam hati kembali mengguratkan malam-malamku akhir pekan ini. Terdengar sumbang meski seharusnya tergambar lantang. Penuh cerita sebenarnya tapi tak mudah keluar dalam kata, terganjal beberapa nada yang kian memberatkan segala langkah. Langkah menujumu atau juga menjauh darimu. Seharusnya aku berlaku ini dan itu untuk menjagamu dalam benakku. Bukan kamu atau aku yang salah, tak jua kita. Kami hanya pemeran dalam sandiwara romansa yang mungkin penulisnya berat tuk akhirkan cerita dalam satu nuansa.
 

Tuhan rasanya begitu kejam akan semua takdir yang diberikan pada kami. Saat kau divonis oleh dokter menderita penyakit misterius itu dan aku belum sama sekali siap tuk menerima. Sebenarnya kau juga. Hanya saja kau tak tampakkan air muka sedih di pelupuk mata. Mungkin karena kau memang tegar atau menjaga perasaanku yang hancur lebur tak karuan ini.

“Apa kau baik-baik saja, Vin? tanyaku saat tiba-tiba wajahmu pucat.

Kini dia seringkali bertingkah aneh. Keadaan tubuhnya juga cepat sekali berubah. Pagi bisa saja dia tersenyum renyah. Namun, malam harinya mungkin kasihku telah tergolek lemah tak bertenaga di ruangan sepi dengan dinding putih tak bersuasana.

“Aku baik-baik saja kok. Kau tenang saja, Hans...”

Kau tersenyum. Cukup berat tampaknya bibir itu bergerak. Tak selincah dulu kala kau bercerita tentang apa saja kepadaku setiap waktu. Cerita tentang keluargamu yang cukup harmonis kurasa. Dengan ibu serta adik-adikmu yang masih tumbuh remaja. Ya. Meski ayahmu telah tiada, tak kulihat air mata itu terus menetes karenanya. Kau tegar dengan segala semangat yang selalu kau bawa.
“Mungkin itu yang membuatku tetap cinta dan semakin cinta. Tak hanya fisikmu yang mempesona, kepribadianmu juga...”

Kau juga tak kecewa saat hari pernikahanmu nanti tak bisa disaksikan oleh ayah tercintamu. Kau memandang hidup seperti roda. Di mana akan terus berputar, tak peduli sesekali berada di atas atau di bawah. Yang kau yakini hanya satu, suatu saat nanti roda itu akan terhenti pada tujuan yang sempurna.

“Aku menunduk sejenak... Mensyukuri atas apa yang terajut indah dalam dirimu, Vina. Kekasihku, perempuanku, juga yang kuyakini sampai hari ini adalah calon isteri yang paling tepat untuk anak-anak kami...” doaku dalam sela napas.

Kau tampak cantik ketika rambut panjang yang tergerai indah itu tertiup oleh angin secara perlahan di taman belakang villa saat senja tiba.

“Aku masih ingat secara detail momen itu,” kataku padamu. Pakaian yang kau kenakan aku juga masih hafal. Rasanya otakku yang putih ini tak kuasa melupakan segala warna di kala itu. Entah memoriku yang hebat atau perasaan kita saat bersama yang luar biasa kuat.

Kuajak kau melihat danau yang airnya sedikit hijau tercampur alga yang tumbuh subur di sana. Melihat wajah kita yang terpantul indah. Bercanda. Sesekali derap tawa juga mengiringi jangka kita.

“Lihat Sayang... Kita serasi, bukan?” selaku lagi ingin mendapat anggukanmu.
           
Kau hanya tersenyum. Mengangguk kecil pertanda setuju. Aku terbang, melayang, ke taman yang luar biasa indah hingga tak mampu aku melukisnya. Taman semu yang dalam nirwanaku selalu tertera kata cinta dan keindahan. Taman yang kami buat bersama di mana pondasinya adalah rasa saling percaya.
           
Kulihat senja jua makin menipis. Langit mulai gelap. Burung-burung di danau telah bergegas pulang ke sarang mereka tuk kembali bersama. Kami belum beranjak dari pinggir telaga yang dekat dengan sabana. Kau duduk bersila menantiku yang tadi pamit tuk mengambil setangkai mawar putih indah. Kujabat tanganmu dan kuberi bunga manis itu. Meski gelap, cahaya rembulan kian terasa cemerlang dalam persepsi kami. Mawar putih juga menambah terangnya malam sempurna ini. Kukecup keningmu dan kami beranjak pulang.
           
Cerita masa lalu yang sulit terulang di mana kami berdua kini telah tumbuh menjadi insan yang dewasa. Mungkin hanya akhir pekan waktu kami tuk memadu kasih. Selebihnya hanya berkutat lewat alat komunikasi yang semakin canggih saja. Aku bekerja di salah satu bank swasta sebagai pegawai dengan gaji yang belum cukup tuk membangun bahtera rumah tangga. Sedang kau bekerja di sebuah taman kanak-kanak di dekat tempat tinggalmu sebagai guru dari adik-adik kecil di sana.

“Aku cukup bangga denganmu... Meski kau hanya seorang guru TK, tapi tak kulihat kau murung akan profesimu. Kau mengajari mereka mambaca, menulis, dan berhitung dengan sabar dan sarat akan kasih sayang. Aku terkesan,” ujarku meneruskan.

Tak jarang anak-anak itu menangis tanpa sebab. Merengek. Meminta ini dan itu sesuka hati mereka. Namun, apa yang kau lakukan? Kau hanya tersenyum dan berusaha menjadi teman mereka. Sangat tulus peran yang kau mainkan hingga rasanya mata ini terharu melihat rangkaian yang tak mungkin membiru.
           
Kau sangat menjiwai pekerjaanmu sebagaimana aku yang juga mencintai profesiku. Meski upah tak seberapa dan sering pula aku mencari beberapa pekerjaan tambahan tuk tutupi segala kebutuhan. Namun, tak pernah aku menyesal memilih profesi itu. Aku selalu mencintai apa yang aku kerjakan. Sama sepertimu.
           
Tak terelakkan, kisah kami memang mirip. Ayahku juga telah tiada. Bedanya aku sudah ditinggal sejak SMA sedangkan kau baru-baru saja. Kurasa latar belakang itu jua yang kelak menjadi pengikat kita. Kami senasib, seperjuangan juga sekisah dalam cinta. Kau pencerah saat hari-hariku gelisah oleh sejuta masalah. Laksana embun yang menetes pada dahan yang kering. Suaramu juga membangkitkan jiwa yang kadang kala lemah.

“Aku hidup tuk orang lain, untuk keluarga serta yang lain...” sergahmu yang termakna.

“Begitukah cita-cita seorang wanita perkasa di mana tak lagi mempedulikan hidupnya?” tanyaku.

“Bukankah hidup memang harus seperti ini?”

Aku tak ingin mengejarmu menyelesaikan semua perbedaan. Apalagi kau mengakhirinya dengan mendesah. Seperti keluhan. Deras hujan yang mengucur dari air mata kesunyian.
***

KAU tergolek lemah lagi. Kali ini lebih parah. Sekujur tubuhmu pucat. Selalu saja seperti ini. Kularikan kau ke rumah sakit. Sang dokter yang memeriksamu menyarankan agar kau dirawat beberapa hari. Selain tak sadarkan diri, kau terkadang juga mengerang kesakitan. Kalau sudah parah, kau harus diberi beberapa dosis obat peredam rasa sakit. Ya. Morfin. Zat yang sangat mahal itu harus diberikan ke tubuhmu tuk ringankan segala perjuangan melawan rasa sakit.

Dalam hati, aku berpikir kalau terus-menerus seperti ini, raga jua rasanya tak cukup tuk penuhi keperluan berobatmu sampai sembuh. Siang malam kuberpikir hingga suatu ketika aku memutuskan pensiun dini dari bank itu. Aku keluar. Ibuku terkejut akan keputusan ini. Namun, tekatku sudah bulat. Aku ingin mengobati sakitmu dengan uang pesangon ini hingga kau sembuh total. Sayangnya aku tak menceritakan padamu tentang bagaimana semua ini bermula. Yang kau tahu hanyalah tiap hari aku mengantarmu berobat. Itu saja.

“Besok, mungkin rasanaya sudah genap sebulan aku mengantarnya berobat...” pungkasku. Tak ada kesedihan dalam diriku. Optimisme dan ekspektasi yang luar biasa akan kesembuhannya begitu menyeruak dalam darah.

“Semoga Tuhan menjawab doaku...” batinku berbisik.

Memang benar, sebulan sejak terapi itu, dia tak pernah kambuh-kambuh lagi. Namun, uang ini tak lama akan habis juga. Dan berarti rasa sakit itu akan kembali menerpa raga Vina yang lemah.

Kepalaku berat oleh segenap masalah yang belum tahu bagaimana tuk selesaikan. Mata ini rasanya gelap tak mampu menikmati mentari yang bersinar tanpa rasa lelap. Kuberpikir tentang beberapa kemungkinan tentangmu, tentang kita. Aku terdiam. Merintih di bawah langit biru yang membentang.

Seperti biasa, aku datang ke kamarmu di pojok lantai tiga rumah sakit itu. Kulihat ada lelaki gagah tinggi besar sedang menjengukmu. Aku tak jadi masuk. Menunggu dia pergi dahulu. Aku tak mau mengganggu momen itu. Mungkin dia saudara jauhmu, teman lala, atau jua teman kerja. Aku tak tahu.

“Cukup lama lelaki itu mengobrol. Aku mulai bosan menunggu. Makin dalam saja aku ditelan fatamorgana,” gerutuku.

Usai beberapa saat aku masuk ke ruangan itu tuk bertemu kasihku. Dia tampak ceria. Aku tak bertanya apa-apa tentang lelaki tadi. Diam saja sambil menunggu dia yang membuka cerita. Dia bercerita tentang kakak kelasnya tadi sewaktu SMA dulu.

“Sudah sukses sekarang ... Sayang, belum punya pendamping hidup...” ceritanya.

Aku terkejut dengan kata-katanya. Terpikir dalam benakku ini bahwa Vina seharusnya mendapatkan lelaki yang sukses seperti Dira, nama lelaki itu.

Mata Vina terpejam. Seperti letih setelah terjaga sekian lama. Dia beristirahat di ranjangnya sedangkan aku duduk di kursi ini, memandangnya dengan sejuta cinta sambil menggenggam erat jemari lentiknya.

Semakin sering saja Dira berkunjung ke sini. Keluarga Vina juga sangat terbuka akan Dira. Seperti sudah mengenalnya lama. Kulihat mata Dira berbinar saat menatap Vina. Tak ada rasa cemburu atau iri dalam batinku kini. Aku malah senang Vina bisa tersenyum kembali.

“Tak salah lagi. Mereka pasti punya suatu hubungan spesial dulu,” aku menerka.

Setelah kutanya pada ibu Vina, memang benar, Dira adalah cinta monyet Vina saat SMA. Tapi hanya cinta anak ingusan yang tak lebih dari sebuah guyonan.
***

RUMAH sakit akhirnya memulangkan Vina. Bukan karena dia telah sembuh, dia masih perlu terapi. Namun, biaya yang tak sanggup lagi memenuhi. Tabunganku juga telah menguap. Habis tak bersisa.

“Tak apa. Ini demi kamu...” telaahku.

Setelah sesaat termenung, aku sadar jikalau kau terus bersamaku, takkan bisa penyakitmu itu sembuh. Sementara di sisi lain, ada lelaki yang menurutku sangat mencintaimu. Dia juga terbilang orang beruang. Rasanya tak sulit baginya tuk membiayai segala keperluan kritismu sampai kau benar-benar sembuh dan tak lagi kambuh.

Tiap hari kurasakan kau memang cocok bersanding dengannya. Aku tak akan menghalangi. “Semua telah ditakdirkan begini...” lanjutku.

Kuawali pembicaraan serius senja itu. Tentang topik masa depan hubungan kita. Kujelaskan padanya jikalau kau terus mempertahankan hubungan ini denganku, kau tak akan pernah sembuh, lebih lanjut kau juga akan mati dan kita tak akan berulang lagi.

“Bukankah mati itu di tangan Tuhan?” tanyamu.

“Iya benar, tapi...” aku tercengang.
Kau menumpahkan air matamu di bahuku. Entah apa maksudnya. Aku tahu ini berat untuk kita. Namun, kau harus sadar ini yang terbaik untuk kita.

Kita tak akan bertemu lagi tahun depan atau bahkan sebelum tahun itu tiba. Tak lupa kuucapkan selamat tinggal padamu dan keluarga. Kau sudah dewasa. Jauh lebih dewasa mengartikan berbagai sumbu kehidupan. Aku lega.
***

ENAM bulan pascaromansa senja itu. Undangan pernikahanmu bersama Dira yang kutunggu akhirnya sampai ke rumah.

Aku tak akan datang. Bukan karena rasa sakit itu yang masih membekas. Hanya aku yakin kalau kau pasti sangat bahagia bersanding dengannya. Penyakitmu juga telah hilang berganti cerita suka dalam setiap nuansa. Aku menghela napas panjang pertanda lega. Syukurlah.
***

BEBERAPA tahun kemudian nasibku ini juga telah berubah. Bukan lagi Hans si pegawai, kini jabatanku adalah orang nomor dua di salah satu bank nasional. Hanya saja saat ini, sukses telah kuraih tapi tak tahu sebenarnya tuk siapa.

“Untuk kamu? Untuk siapa?” guratan tanya yang tak butuh sebuah kata.

“Apakah aku menyesal? Apakah aku harus merebutmu dari Dira?”

Aku tak yakin ini ceritaku. Yang kutahu kadang kala kita harus berhenti tuk mencintai. Bukan karena orang itu berhenti mencintai kita. Melainkan karena kita menyadari bahwa orang itu akan lebih bahagia apabila kita melepasnya.
           
Sampai bertemu, Kasih. Sampai jumpa di lain kesempatan nanti. Aku tak pernah menyesal. Aku tahu dia dan kamu memang sempurna tanpa aku yang menjadi pemisah. Tetaplah bernyanyi, meski terkadang tiada lagu di hati.

Rintik hujan yang takkan terlupa. Tetap mewangi hingga esok kumenutup mata.
(IPM)

Bandung, September 2011

#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers