Caraku Mengagumimu

April 11, 2020



Berterima kasihlah kepada dia yang kamu kagumi...

Sudah lama sekali. Bahkan, terlalu lama, semenjak dia duduk di sana dan kamu hanya bisa mengamati siluetnya dari belakang. Untuk sekadar menghampiri, kamu tak berani. Nyalimu itu, sungguh kontras dengan keberanianmu tampil di depan publik kini.

Di hadapan dia, kamu lemah. Lututmu terasa gemetar tak tahu arah. “Aku kehilangan diriku sendiri saat di dekatnya,” ceritamu, dan kujawab sekenanya saja, “Mungkin kamu tengah jatuh cinta.”

Ada fasa jatuh cinta yang positif, katamu. Yakni, ketika kamu mengagumi seseorang, dan kamu tak sadar bahwa hatimu telah jatuh bersebab dia, sehingga kamu begitu bersemangat menjalani hidup, berusaha menjadi yang terbaik di depannya.

Aku baru sadar, setelah mengamati perlahan, jikalau akhir-akhir ini kamu berubah. Tidak ada masalah bagi perubahan. Ya, asalkan merupa lebih baik. Seperti kamu, yang entah mengapa, kini menyambut pagi dengan lebih ceria. Lesung pipit itu, sekarang mengembang tak kenal waktu.

Pagi, senyum. Siang, tertawa. Sore, riang gembira. Bahkan, saat malam datang dan tugasmu tak kunjung selesai, kamu masih sanggup berkata, “Ah, tenang, setelah ini pasti kelar.”

Energi macam apa yang bisa membuatmu berubah, entah dorongan orang tua, rekan, atau hanya teks sapaan dari dia yang kamu cinta. Oh, kurasa alasan ketiga merupa jawaban atas tanda tanyaku.

Seorang yang membuatmu kagum, kamu taksir memiliki berbagai kelebihan. Dia itu anggun, pandai menempatkan diri dalam dialog kelompok, berani tampil, pendengar yang baik, serta sikapnya terpuji. 

Pelan saja, secarik kertas kamu ambil, untuk kemudian kamu isikan perbandingan antara dirimu dan dirinya.

Kamu percaya, perempuan yang baik, hanya akan bersanding dengan lelaki yang baik pula, begitu juga sebaliknya.

Demi mengimbangi ‘kebaikan’ dia, kamu mulai belajar dan berubah. Kamu pelajari bagaimana menjadi pribadi elegan, ya, lewat media diskusi, buku bertopik komunikasi, hingga langsung praktik di lapangan. “Oke, satu hal selesai, yuk pindah ke yang lain.”

Lain hari, kamu belajar bagaimana merupa seorang yang berani mengambil tanggung jawab. Dengan ikut berbagai kegiatan, menawarkan diri mewujud pemangku keputusan, dan berlatih menerima segala kritik tajam. “Hmm, satu lagi selesai.”


“Kamu enggak capek terus seperti itu? Mengejar dia dengan mengubah sisi pribadimu yang dulu?” tanyaku, saat kamu butuh teman bicara.

Jawabmu mengejutkan, “Tentu capek. Tapi, seorang yang berharga, memang harus dikejar dengan segala usaha,” tuturmu, lalu disambung, “Usahaku ya ini, terus memantaskan diri.”

Aku hanya bisa menyaksimu dari sini. Melihat seorang sahabat yang berusaha memperbaiki diri agar dapat bersanding dengan dia yang terbaik di kemudian hari.

Kamu pasti tak tahu, jikalau aku di sini diam-diam juga melakukan hal yang sama: memantaskan diri.

Untuk apa?

Untuk bersanding denganmu jawabnya.
___

Berterima kasihlah kepada dia yang kamu kagumi. Karenanya, kamu pernah berusaha memantaskan diri menjadi pribadi yang lebih baik.
(IPM)

Idham PM | Sketsastra 2020

#Ilustrasi diunduh dari satu, dua

Followers