Kita Tak Pernah Dewasa

July 15, 2013


Kalau aku udah gede...
Aku pingin kerja di Multinational Company. Aku mau kerja di gedung tinggi. Ngomong English setiap hari. Rambut klimis, sepatu mengkilat kaya orang penting. Tapi ngerjain kerjaan yang kurang penting, jadi tukang fotokopi, bawain laptop, beres-beres kertas. Enggak masalah kerja 15 jam sehari, tidur cuma 5 jam sehari, masalahnya gaji cuma tahan sampai tanggal 15. Untung di warteg bisa makan dulu, bayar belakangan, tapi sayang, enggak berlaku untuk beli pulsa. Jadi orang gede menyenangkan tapi susah dijalanin. (Versi lelaki).
 
Kalau aku udah gede...
Aku mau jadi eksmud. Mau Jadi bos. Hari-hari ngomong campur Bahasa Inggris. Tiap Jumat pulang kantor nongkrong bareng sesama eksmud ngomongin proyek besar, biar kelihatan sukses. Suara agak digedein biar kedengaran cewek di meja sebelah. Kalau weekend sarapan di kafe sambil sibuk laptopan, pesen kopi secangkir harga 40rb-an, minumnya pelan-pelan biar tahan sampai siang demi wi-fi gratis. Kalau tanggal tua pagi siang malam makan nya mie instan. Kalau mau nelpon bisanya cuma miscall. Jadi orang gede menyenangkan tapi susah di jalanin. (Versi perempuan).

Beberapa kalimat di atas menurutku ‘mengena’. Terlagi bagi mereka, atau kita, yang tengah menitih lembar-lembar usia menuju dewasa. Sedari kecil, beberapa bercita agar segera menjadi matang, ajeg pada pendirian. Tetapi, pernahkah kita sadar, bahwasanya menjadi dewasa ialah bukan sebuah impian, melainkan pilihan.

Ya, pilihan. Kalau tak percaya, tinggal tengok saja sekelilingmu. Berapa dari benak manusia itu yang masih manja dan tak mandiri bila disandingkan dengan nominal usianya? Berapa pula dari batang hidung mereka yang belum bisa lurus tegak berdiri? Masih banyak, bukan?

Lalu, bagaimana cara menjadi dewasa tanpa melibatkan susah? Tak banyak cara. Barangkali, dulu harusnya kau lihai memilih untuk dilahirkan pada sebuah keluarga yang kaya raya. Dengan begitu, dari tangis kecilmu, hingga pelaminanmu, takkan pernah kau rasakan apa itu dahaga dan lapar karena kekurangan. Atau, mulai sekarang, kau harus mewujudkan diri agar beredar menemukan pasangan yang tak menuntutmu menjadi lebih baik. Pasangan yang menerimamu apa adanya. Oh, siapa dia? Pasangan yang seadanya. Lantas, kau, atau juga aku, mulai berpikir dua kali untuk menjadi dewasa. Tak apa. Dengan ini, kau akan tahu, apa itu menua, serta apa itu dewasa.

Kita tak pernah dewasa. Oh, tidakkah aku salah?
(IPM)

Bandung, Juli 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers