Kado yang Tertinggal di Braga

June 04, 2013




DENTING radio bergumam bak orang kedinginan di kala hujan. Ya, hari ini memang rintik turun dengan derasnya. Sesiapa tersapu. Mulai pedagang asongan lampu merah yang lusuh, tukang becak di persimpangan pasar Kamis, penyanyi jalanan yang bergelayut di pinggiran halte seraya menunggu bus yang hengkang, serta kamu, yang terdiam sendiri sarat ragu.

Seluruhnya berteman gigil yang senyap. Tak bertenaga. Sering pula aku melihat wajah-wajah biru bekas tiupan udara pada basahnya hujan. Semampai, selaksa rantai yang menggaris setiap daging dengan tajinya.

Biru itu, kelak akan hilang dengan sendirinya, ketika cahaya datang menguakkan hangat. Tapi, mentari takkan datang lagi hari ini. Dia tengah tergelincir setengah jam yang lalu di ufuk barat. Dan biru, barangkali akan setia bergelayut hingga esok hari, pada ragamu.

Rambut basahmu acak-acakan, menutupi dahi yang basah terciprat rintihan hujan. Air langit memang terkadang menyebalkan, ketika tak tahu waktu menjatuhkan diri. Padahal, kau ingat benar, jikalau malam ini tengah kau janjikan pertemuan dengan seseorang di tempat ini. Tempat yang seharusnya tak pantas untuk diwujudkan sebuah janji. Sebab, tidak ada lilin di sini. Tiada kembang mawar yang berhias merah darah serta duri-duri halusnya. Dua cangkir kopi kurasa tak hadir pula, terlagi rokok mentol, yang terkadang menjadi teman cerita, sesaat sebelum seseorang terbaikmu bersambang.

“Aih, payah benar kau ini, memilih tempat bertemu saja tak becus,” desahmu, menahan dingin kota D yang bergulat malam, semakin pekat.
***

DIA masih belum datang. Kau, yang sedari tadi berdiri dengan lekukmu, perlahan mencari-cari bangku lusuh yang kosong. Tak berpenghuni, dan sepi. Kau pun duduk manis di sana, sembari memutar-mutarkan hitam putih mata, menatap sesiapa. Ya, terotoar pinggiran Braga memang indah ketika malam menjelang. Sinar neon, atau natrium lampu kendaraan sontak mengingatkanmu pada kenangan lalu bersama seseorang, Bajingan.

Kau menyebutnya Bajingan. Nama yang tak pantas ketika terlontar begitu keras dari bibirmu. Jujur, tak mungkin bibir tegas berwarna sedikit ungu itu tega menguakkan kalimat umpat kepada sesiapa yang tak salah. Namun darimu, kau sungguh menampikkan muka selagi berkisah tentangnya. Kau tak sanggup lagi berkata-kata. Pandangmu hanya terarah pada jalanan sempit berkelok nan macet di depan. Oh, sangat menyebalkan. Ketika pendingin mobil sangat muak untuk diisap, terlagi jalanan hanya akan berhenti tak bergerak. Mungkin benar, bahwa inilah wajah sehari-hari kota ini. Tak berubah, meski setelah periode janji-janji manis calon pemimpin kota terlewati, kota ini masih setia sebagaimana mestinya. Penuh masalah.

Bahkan, jikalau kami tak sengaja melewati jalanan area C, rasanya menyesal karena tak mengelokkan setir mobil terlebih dahulu. Sebab, sungguh jalan itu laksana hidung mampet yang tak berlubang. Tersendat. Antara debu, klakson, umpatan, serta merah mata beradu saling mendominasi. Dan kita, hanya akan menyaksi orang-orang bergeram diri. Di balik kemudi, lengkap denganmu, yang menghela desah terlagi bercerita.

Kemudian kau, tiba-tiba membisu tak menentu. Sebenarnya, aku masih menyimpan beribu tanya tentang lelaki yang kau anggap layaknya bajingan tak bermoral. Anganku terbang, menggariskan beberapa alibi bahwa kau telah dikecewai. Entahlah oleh siapa, karena apa, di mana, atau kapan. Masa bodoh menurutku jawabnya. Yang jelas, kau begitu sakit dibuat Bajingan itu. Hingga taklid. Hingga mobil ini berhenti, dan kita terjaga menghempaskan mimpi.

Kita akhirnya turun, dan mulai mencari spot di sudut ruangan untuk bercengkrama. Remang yang sedikit sepi, hembusan angin, serta dua jiwa kesepian layaknya sangat serasi untuk mengulum berbagai kenang malam ini. Pelayan, seringkali penyebab segala obrolan terputus. Bahkan, ketika aku hendak memintamu untuk bermalam, pelayan itu datang, menebarkan kicau produk picisan untuk ditawarkan. Persetan!

Akhir kata, Bajingan itu, hanya akan menjadi momok bagimu. Tak apa. Asalkan denganku, kau tak berontak memberikan isyarat ataupun gelisah. Sungguh kuperbolehkan kau memiliki musuh, atau juga dendam terhadap seseorang. Bukankah manusia memang diciptakan dengan amarah yang menjadi-jadi. Meletup-letup. Hingga tak sadar jikalau dengan tangannya sendiri, buah hati mampu ditikam dan dimasukkan dalam kantong-kantong goni. Kantong itu, kelak akan disebar di beberapa aliran kali. Hanyut. Bermuara pada laut yang mulai murung menyusun kembali potongan-potongan tubuh yang tak lengkap. Perlahan, ketika dia berpaling, terdengar bunyi rintihan dari balik deras air. “Ah, hanya halusinasi saja”, pungkasnya.
***

KAU mulai muak memicingkan mata. Duduk pun sudah enggan rasa nikmatnya dijamah. Kakimu, sedari tadi tiada henti mengubah bentuk sila. Barang semenit kaki kiri di atas, sesaat kemudian berganti yang lain. Tampaknya, wajahmu mulai tak tenang. Kau pun agaknya bosan menyaksi pemandangan-pemandangan murahan di jalan itu.

Dari lekukmu duduk, tergambar jelas beberapa pemuda dengan kaos hitam tengah bersandar pada dinding-dinding lusuh untuk sekadar membagi tawa dan derita. Mereka, kau terka tak bermodal banyak, hingga mau-tak-mau menghabiskan malam sejajar dengan peminta-minta; beralaskan aspal yang dingin sehabis hujan.

Tak jauh dari sana, sibuk beberapa kru fotografer yang tengah menyiapkan segala keperluan. Mulai dari penata rias, lighting, sampai pengarah gaya, tumpah menjadi satu menginginkan momen terindah. Ya, di sini memang cukup apik apabila dijadikan latar memori spesial. Atau sekadar untuk menghias kenangan, yang lamat-lamat nantinya juga ingin dilupakan. Model foto itu, kau lihat tinggi jenjang, ayu, dan langsing. Bajunya pun cukup memesona. Kau tak habis pikir, bagaimana mungkin di malam sedingin ini, dia rela menguapkan kaki-kaki jenjangnya, hanya untuk sebuah bayaran yang akan tak bersisa, apabila ditukar dengan segelas pengundang dahaga.

Dua orang menghampirimu. Satu lelaki, dan seorang wanita berkerudung jingga berkacamata. Sang lelaki membuka pembicaraan, berkata panjang lebar yang ujung-ujungnya meminta uang untuk ditukar setangkai mawar putih, merah, atau ungu. Sesekali mereka menggoda, untuk agar kau merogoh saku memberikan rupiah kepadanya. Tapi, kau tak butuh mawar malam ini. Kekasihmu tak suka bunga bertangkai yang sendirian. Dia hanya menginginkan lesungmu, ketika membangunkannya sebelum subuh.

Langkahmu akhirnya melayang, menuju minimarket tak berlogo sendirian. Kau mencari-cari sesuatu yang hendak kau beli. Cukup lama kau memutari bilik-bilik dagangannya. Tanpa tujuan. Pegawai toko yang sedari tadi berdiri di pojok, turut serta memperhatikan gerikmu. Pikirnya, kau hanya salah satu bagian sindikat penguntil yang masih amatir. Belum cekatan seperti senior-seniornya. Muak dimata-matai, lantas kau segera mengambil minuman ringan di balik almari pendingin di dekat kasir. Kau bayar, dan pergi sambil mengutuk benci pegawai sialan itu.

Ah, bangkumu tak kosong lagi. Tak ada tempat berteduh dari segala bosan dalam penantian. Sudah tiga puluh menit lebih dia tak datang. Tak pula menyelipkan kabar entah ke mana. Sembari berdiri, anganmu mulai meronta, berpikir ini-itu tentangnya.

Kau berpikir bahwa dia kini tengah mengalami kecelakaan hebat di jalanan dekat rumahnya. Alibi terkena karma, dia bersimbah darah, berlumer nanah. Kacamata silindrisnya pecah, beberapa beling pun masuk merobek kornea. Dia mengerang menahan taklid, sambil memegangi sebelah mata yang tak bisa lagi mencerna. Rambutnya yang ikal pendek, kini cokelat dan berpasir. Bersebab menggulingkan diri pada jalanan, sebelum moncong mobil mengenai pembatas jalan. Oh, dia pun akan lupa tentang warna kemeja biru muda kesukaannya, yang biasa dia pakai kala bertemu denganmu. Pantofel hitam mengilatnya juga kau kira tak berhasil memantulkan berkas lagi, lebam di sana-sini. Terakhir, barangkali namanya, Untung, juga harusnya diganti, Buntung, ketika tahu, kakinya harus diamputasi gara-gara kecelakaan tadi.
***

ITU hanya mimpimu. Untung datang, terlambat barang sejam. Dia masih memakai Fortuner abu-abunya. Lengkap dengan kacamata silindris, kemeja biru muda, sepatu Pantofel hitam, dan rambut ikal pendek yang disisir rapi.

Dia menjemputmu di pinggiran Braga. Kau, entah mengapa begitu terburu memasuki mobilnya. Tergesa. Seakan hendak menghindari bertatap dengan seseorang. Sepertinya, atau sudah amat pasti, kau telah mengetahui keberadaanku, yang duduk sedari tadi di kedai kopi tua berkaca tepat di depan kau duduk-berdiri. Aku mengamatimu dengan seksama. Aku melucuti segala dandananmu sekarang, bertambah dewasa. Kaos V-neck berwarna cokelat, dipadu jaket jeans biru tua, celana Chino tak sebegitu ketat, serta sepatu kulit hitam yang sangat lelaki. Elegan, bukan? Siapa yang mengajarimu bersolek kini?
***

SEBENARNYA, akulah Bajingan itu. Akulah orang yang tengah menghadiahkan kelam terperih untuknya. Ketika aku lebih memilih isteriku dibanding dia. Amarahnya memuncak, seperti hendak membunuhku seketika. Itulah buncah terbesar dalam hidupnya. Dan sungguh, aku dahulu tak berdaya oleh cakap suaranya sembari berbincang lama. Mulut Johan, mulutnya, sangatlah padu meliuk-liukkan lidah mewujud kata. Barangkali, sesiapa akan tergoda dan menyerahkan segalanya. Tak terkecuali aku.

Namun, wajah isteriku melayang, memintaku pulang. Aku meninggalkan Johan setelah bertengkar hebat. Kupatri dia di persimpangan jalan lengkap beserta kehidupan malamnya yang menyimpang. Dalam batinku, lirih berbisik, aku kembali.

Tapi kini, entahlah, aku cukup merindukannya. Inikah racun yang dibungkus rapi serupa kado? Kado untuk Johan dariku, maaf, aku rindu...
(IPM)

Surabaya, Juni 2013

#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers