Pantaskah?

January 06, 2013



Perlahan, kuperhatikan rona itu jatuh lamat-lamat pada ragu. Kau menengadah tanda tak memberikan sebuah harap nyata.

Senyummu, dulu menebar setiap sisi, menerangi gulita mewujud sempurna pelangi. Namun kini, tak pernah makna itu kutemui. Kuterka, kau telah menggadai senyum indah, menukarnya dengan bertetes melankolia air mata.
 

Aku masih berdiri tegak di pelataran rumahmu, membawa bayang yang selama ini mengambang. Kupakai pakaian terbaikku untuk menemuimu. Lantas, kau membuang muka. Menimpa raut wajah dengan berlapis amarah.

“Kau mengapa? Adakah yang salah dalam rasa?” jelasku padamu yang mematung tak menentu.

Kau, sungguh dulu pernah hadir di seluruh nadi, mengalir bersama deras lika-liku elegi. Disapunya wajah, apabila tangisan seketika tumpah.

Lalu desir angin, semilir, pelan membawamu pergi, menuju lekuk yang kokoh berdiri. Di lipatan malam, kau hilang bak tertelan kelam. Bayang hitammu, kini perlahan memutih, mencari tuannya yang sejati.

Aku tak akan memberimu buku tahun ini, atau berantai tahun mendatang. Sebab aku tak mau, dengan kata, kau menjadi lebih lihai menerka: mana cinta, mana dusta.

Dan pernahkah, kau sejenak memahami arti sapu tangan, untuk air mata? Yang menghapusnya, demi terciptanya riang-riang senyum bahagia.

Malam pergantian tahun, momen di mana aku bergeming menatapmu dalam-dalam. Tepat di tengah angan, kedipmu mengundang untuk berpesan: temui aku, tapi tiada sekarang.

Maka, kunanti waktu itu tiba, sembari menikmati bulir-bulir luka yang tak kunjung sirna. Denganmu, sebenarnya aku telah belajar sekian filosofi cinta: memberi, terlepas apakah segala rasa akan berbalik pada diri sendiri.

Kini, terompet tahun baru ditiupkan. Sedang aku, tertidur pulas dalam lamunan. Berteman sunyi, berpegang pada kaca-kaca pecah yang perih, serta tetesan merah melaju rapi pada noda kain-kain sofa.

Namun, di balik setiap pesimisku, kau tersenyum tipis menunggu. Menanti demi waktu berganti, hingga tanyamu akanku sesegera tertemui.

Apakah serasi apabila kita bersama? Apakah pantas kau menemaniku selamanya? Apakah hanya kita jawaban Tuhan mencipta bahagia?

Dalam pelarian, kerlingmu meminta: semoga tahun depan, kau masih setia mengejarku pelan.

Tunggulah, aku tiba ketika kau pantas menjalinku mesra, tanganmu, jemariku, beradu di atas kitab kita.
(IPM)

Surabaya, 31 Desember 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers