Dosa Termanis

January 05, 2013



KAU masih memandangi bayangku pergi, sementara jendela kamarmu lekang tak tertutupi. Semilir angin masuk, membelai rambutmu yang sengaja tergerai. Tirai itu, bergerak ke sana ke mari, seakan melambai sembari mengucap frasa: sampai jumpa lagi.
***

AKU sudah berpesan, jikalau nanti kita tak bersama, kau cukup menikmati malam ditemani rembulan saja. Tak perlu aku. Sebab saat itu, pastilah ada tangan lain yang memelukku erat, di samping tanganmu.

"Tangan siapa? Mengapa kau tetap mendekapnya?" singgungmu meminta jawab.
 

"Tangan seorang ratu, yang membuahkan putraku dari ranumnya hingga kian matang. Sebenarnya, bukan aku yang menggenggam jemari itu, tapi kamilah yang sepakat saling menggenapi," jelasku panjang.

Kau, lantas terdiam sedingin sunyi. Hangatmu seakan hilang tak berbekas. Padahal, aku ingat jelas, malam ketika kau hembuskan napas terpanasmu untuk meninggikan suhu kamar. Dan benar saja, setelahnya, kita jadi gundah atas makna sebongkah rasa.

"Sudahlah, kau tenang saja. Akan kuajarkan kau tentang cara menikmati dosa," rayumu, perlahan pertahananku runtuh.

Kau tahu, dosa atau juga penyesalan ialah selaksa secangkir kopi panas yang menggoda, sebab kenikmatannya, hanya akan tercipta dari seberapa pahit dia.

"Lalu, bolehkah kubuatkan kopi terpahit untukmu?"

"Untuk apa?" tanyaku.

"Agar kau merasakan, manisnya dosa dalam pahitnya rasa," jawabmu jengah.
***

AKU mengenalnya berlampau waktu di sekitaran taman kanak-kanak kotaku. Bangunan dengan dinding berwarni milik mereka yang ingin mengeja alfabet dan imaji. Anakku belajar di sana, bersama anakmu, yang masih lucu dan cantik itu.

Pada awalnya, aku hanya melempar senyuman siang hari. Sejujurnya, itu tak lebih dari lesung yang hampa, tapi siapa mengira, kau dengan parasmu yang ayu, dengan sengaja membalasnya. Sama-sama menunggu, membuat lidah kita ingin sekali berlagu. Dan mungkin, kau takkan mengira, jikalau perjumpaan kita pernah berlanjut pada ruangan sepi tak bertuan ini.

Ya. Desahmu mengantarkan lidah untuk tak lagi bersuara. Memang benar, terkada frasa, atau juga rangkaian kata, hanya akan menggulita apabila dicampuri oleh cinta. Sebab cinta tak butuh bicara, cukup lidah, yang merasa tentang apa yang seharusnya dikecapnya mesra. Lantas, kita saling membagi luka.

"Ini lukaku, perih rasanya, tapi aku tak ingin mengobati..." katamu pelan.

"Mengapa? Kau suka apabila dirimu terluka?" tanyaku bersambut.

"Entahlah. Mungkin dengan luka, aku bisa merasakan diriku hidup, benar-benar hidup," terangmu.

"Namun, mengapa kau membagi lukamu kepadaku? Adakah kau tak menginginkan hidupmu lagi?"

"Aku hanya ingin kau merasakan luka ini, setelahnya, barangkali kau juga akan hidup, denganku, atau hanya dengan bayangan hitam ini," kau menutup percakapan.

Kemudian, golek ragamu menghiasi seluruh mata. Tak kusangka, hidup ini sedemikian rumitnya, dengan atau tanpanya.
***

KAU masih tertidur pulas, sementara langit pagi hari siap mengaung meneriakkan sinar mentari. Rambutmu yang tercerai berai seakan menyapaku malu-malu, perlahan ada, perlahan memalingkan pandangannya. Lantas, kau terbangun, mencari air mukamu di setiap lekuk sprei yang berantakan. Kau dapati aku telah tiada. Hanya tertinggal pesan, bahwasanya aku harus pergi ke rumah.

“Jangan menghubungiku sekarang, anakku lagi sakit...” bisikku di telepon.

Kau, barangkali seperti ibu yang lain, mengerti benar akan apa perlakuan tepat untuk seorang putra jika dalam kondisi tidak sehat. Sepenggalah detik, pesan elektronikmu muncul pada layar ponselku, berisikan nasihat khas seorang ibu kepada anaknya yang sedang sakit.

Kau menuturi ini-itu untuk dilakukan. Oh, apakah kau lupa jikalau anakku juga sedang dirawat ibunya. Dan kau, juga di sana, mungkin sedang merawat anak perempuanmu yang lucu, tapi tanpa lelakimu. Sebab laki-laki itu, atau yang sering kaupanggil bajingan, telah berpaling membina keluarga yang lain tanpa seizinmu. Lantas, bajingan itu beralih jikalau hubungan kalian sudah tak ada kecocokan lagi, dan mungkin ihwal suci itu telah menjadi najis yang enggan dibersihkan, layaknya mawar basah, yang layu karena derasnya air yang menyiramnya.

“Namun, beruntung kau bukan istriku. Andai saja dia mengerti hubungan kita, barangkali aku yang dimaki, dan dipanggilnya keras-keras dengan sebutan: bajingan. Seperti yang kaulakukan pada suamimu dulu,” candaku padamu.

Kau tersipu. Tawamu seketika merekah. Namun, kutahu itu bukan lesung bahagia. Sebab, terasa dari sini jikalau kau sedang menikmati nostalgia rasa sakit. Semakin taklit, semakin kau enggan membangunkannya untuk bangkit.

Kemudian, api kecil disertai asap menjelma pelan. Aroma tembakau santer memenuhi ruangan kita. Kulihat, lentik jemarimu piawai memainkan putung yang menyala, memutar-mutarkan dengan lincah, sembari memberi jeda sebelum kauisap lagi. Aih, kuterka kau memang seorang perokok berat. Tapi, tak pernah kujumpa bibirmu hitam karena nikotin. Mungkin tertutupi lipstik merah menyala itu.
***

Setiap perjumpaan, selalu kuingat tangismu yang luruh. Kau begitu menyukai pundak ini. Barangkali, tak ada bagian lain dariku yang kausuka selain sepasang pundak ini. Cepat saja, ketika air mata itu tumpah, kau segera mematut pundak teragungmu. Kuat. Erat. Rasanya, ingin pula kau tenggelamkan kepalamu di bidangnya.

"Menangislah sejadi-jadinya. Kelak, mungkin bebanmu akan sedikit berpindah di sana..."

Kau tak menghirau. Terus menangis.

Setelah kering, tangis itu bersambut segenap tawa. Tawa yang sentimentil, serta membawa lelah berselimut bahagia. Esok pagi, barulah kami saling menjaga, berdua membukakan mata.

"Aku pulang, sudah pagi..." pamitku singkat.

Kau tak menjawabnya, hanya memicingkan mata, sembari pulas kembali dijamah.
***

Berganti hari, aku makin lihai memainkan peran ini. Semakin tanpa celah. Dan aku mungkin lebih bajingan dibanding lelakimu dulu. Namun berbeda, sebab aku tak pandai beralih mengucap alibi picisan, seperti lelakimu.

"Dasar kau, selalu mengingatkanku tentang memoria semu saja," gerutumu.

"Tak apa, semakin kau ingat dengannya, semakin kau memilihku untuk menimpa bayangnya, bukan?" jawabku menggoda.

"Ah, tapi nyatanya kau tak memilihku. Buktinya, kau juga masih tinggal bersama ratumu, yang kau kisahkan sebaik bidadari itu. Dan aku, mungkin hanya kaukecup ketika kau bosan dengan segala permainan," terangmu menyudutkan.

"Memangnya, kita harus bagaimana? Bukankah peran kita hanya untuk seperti ini? Saling berbagi kisah serta lelah raga? Tak lebih," ujarku, kini pitamku meninggi.

"Sudahlah, aku tak ingin menuntutmu lebih. Hanya kepastian akan hubungan ini. Tak penting lagi tentang pelukan, dekapan, sentuhan, atau yang lain apabila kepastian tak pernah kupeluk, kudekap, dan kusentuh wujudnya. Barangkali raga ini telah lelah memberi semua. Mungkinkah kau sebegitu bajingan seperti lelakiku dulu?"
***

"Dasar bajingan! Bajingan! Bajingan kau! Jangan pernah kautampakkan wajahmu lagi di sini!"

Ratuku memakiku, layaknya binatang yang dihardik sekeras-kerasnya. Anakku menangis, menatap ayahnya yang dilucuti seperti banci.

"Kau tak patut menangisinya. Lebih baik, kau membencinya..." pinta ratuku pada anakku.

Lalu, pintu itu tak pernah terbuka lagi. Kata tetangga, kuncinya hilang, sehingga tertutup abadi. Siapa yang peduli?
***

Kini aku utuh lelakimu, kepastian kehancuran rumah tanggaku ialah dosa termanis untukmu. Kupersembahkan mahar itu sebagai maskawin kita. Semoga kau mengenangnya.

"Aih, kau bukan lelaki, Sayang. Kau banci."

"Mengapa kau mau dinikahi banci? Adakah benar seorang penggoda memang pantas untuk dipasangkan kepada yang digoda, seperti kita," pungkasku.

"Kita serasi, Sayang. Kita setia. Karena kita hanya menghadapkan pandangan pada satu sisi, meskipun itu harus melawan arus, bukan begitu?" kau kembali menebar tanya.

"Terserah kau mau bilang kita apa. Sekarang, mari kita bicarakan soal sekolah mana yang tepat untuk Veronica, anakmu. Semoga takkan bertemu dengan Dimas, anakku. Dan satu lagi: jangan pernah kausuruh aku mengantarnya ke sekolah. Kau tak ingin kan kehilangan bajingan untuk kedua kalinya?"
(IPM)

Surabaya, Januari 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers