Surat Tertanggal: September 2020

December 20, 2012



SETAHUN kemarin langit biru, terkesan cerah, mengguratkan asa hingga kian melambung. Biar kuterbangkan saja balon-balon impian ini, kulepaskan bebas menuju angkasa, menjemput segala takdirnya. Kau tahu, ke manakah balon-balon yang kuterbangkan ke angkasa itu menuju? Apakah ke langit yang tak bertepi, meletus tak bersisa, atau barangkali bersandar di teras-teras rumah Tuhan? Itukah surga?
***
KATAMU, hidup ini hanya soal memilih. Cuma tentang menghargai mana yang pantas dihormati. Kalaulah sebuah barang atau apa pun sanggup membuatmu bermata, hampir pasti ia akan berharga dan layak kaupilih seutuhnya. Namun, kala yang lain menyulammu menjadi bait-bait sedih nun langgeng bersama waktu, barangkali ia harus kaujauhi pelan, kencang, bahkan kaubuang ia bersama ganjil kenangan. Huh, sungguh ini bukan kisah teori atau analogi picisan. Ini soal memahami rasa, memaknai hangatnya rindu, pekat dan perihnya gejolak cemburu, hingga padamnya api jiwa ketika dia yang kaucinta pergi bersama lain kekasihnya. Ini tentang rasa, Tya. Sangat rumit, hingga satu per satu perlu kubuka di hadapmu perlahan. Coba kau simak.

“Kau baik-baik saja?” pungkasmu lembut, tapi hampa.

Kau bertanya-tanya tanda tak mengerti. Kau juga tak memerhati, malah sering kau mengarahkan pandangan ke lain sisi. Ke arah belakangmu, tepat ke bidang seseorang yang membayang segala penglihatan. Kau mungkin cukup, atau sangat akrab dengannya. Tapi sungguh, kau pernah saling berkhianat bersamanya. Lantas, apa arti sebuah kisah?

Memendam, atau barangkali mencinta tanpa pernah ingin dipandang adalah lagat hitamku yang agung. Kau tahu, betapa seringnya doa kupanjatkan atas namamu, betapa mudahnya air mata ini memeluk hangat kedua pipi ketika kaukecewai, lalu berapa banyak pula lembar kertas putih yang menampung setiap harapan semu ini? Tak berhingga, Tya. Sangat banyak, hingga aku tak mau pamrih menghitungnya. Lantas, berapa besar yang pernah kau bayar untuk semua? Dua dirham, tiga dinar, atau berjuta rupiah? Maaf, aku tak butuh nominal. Cukup senyummu yang hambar, barangkali telah berlebih.

Aih, harusnya kau tahu berapa harga sebuah senyuman. Sangat mahal, Tya. Bahkan tak terjangkau harga. Mereka yang telah menjual harta bendanya demi sebait senyuman keluarga adalah semu adanya. Sebab setiap harga tak sanggup dicapai dengan rasa, sebagaimana senyuman.
***

MENYAYANGI ialah lukisan yang kubeli dengan cuma-cuma dari Sang Pencipta. Namun, aku tak dapat memilikinya sendiri, perlu berdua, bertiga, bergenap, atau tak terbilang jumlah. Sebab, menyayangi memiliki harga yang tak sanggup ditebus sesiapa, kecuali berdua. Kini, aku yang punya, tapi tak berdaya untuk menebus sebuah kisaran harga.

“Aku butuh kau saat ini...” rintihku dalam iringan melodi malam.
***

DAHULU kau ingat, Tya, aku pernah berkisah tentang elegi hingga terciptalah syair yang senantiasa mengepak-ngepak laksana sepasang sayap pedih. Sungguh, haru rasa itu sampai-sampai terdengar bak nada-nada sumbang yang mengharuskan sesiapa merasa sedalam kelam. Berbondong muda-mudi pun bersua, membaca, menoreh denting-denting tangis yang kuronce dengan benang air mata. Lalu seketika mereka duduk merenung, memejamkan mata-mata mereka yang ranum, serta memohon agar Tuhan membuka lika-liku jalan kita. Ini doa, Tya. Ini harapan yang nyata.

Bertetes peluh juga pernah kuretas dalam angan-angan semu yang ganjil tak termakna. Kugadaikan lesung-lesung tawa dengan lusinan hambarnya duka. Lengkap sekali bekal yang kubawa untuk cerita kita. Persediaan akan kesedihan begitu melimpah ruah, berlebih, terlagi tangis-tangis yang senantiasa melambai, menyiksa sesiapa untuk mendesah sesenggukan laksana Adam yang dirajam sunyi di surga.

Ini semua kusiapkan untukmu. Untuk permaisuri bertudung putih bersih yang mewangi. Jikalau kau, Tya, memiliki sebuah cermin usang, atau setidaknya masih bisa memantulkan bayang, cobalah perlahan kautengok rautmu di sana. Pandangi bibir merahmu yang basah di kaca itu. Basuh dengan ujung-ujung jemarimu selaksa menghempas secerca rindu. Oh, sungguh menyakitkan membayangkan segala bayang-bayang ini. Terkadang angan, atau mungkin juga kenangan memang lebih kejam dibanding beratus sayatan.

Kubiarkan kau berlalu meraib berlipat ilmu. Menghadiahkan bahagia agar kelak kau menjadi insan yang sempurna. Tataplah mata ini sesekali. Cerna pula hitam putihnya yang membagi, yang memberi gambaran manis pahitnya cerita kasih. Kelak, aku akan percaya, indahnya kisah sungguh akan menjadi nyata jikalau kita bersama. Tertegunlah kau, juga dia yang tak ingin aku bertatap mata.
***

HARI ini awan temaram. Sore menjelang mengisyaratkan keheningan malam. Berpasang burung senja pergi mendekati matahari, seakan tak rela cahaya mereka tersaput pekatnya elegi. Kisah yang miris akan segera diretas, hingga kau dan aku datang merenggut tawa yang pernah terhempas.

“Apa kabarmu, Tya? Kau semakin berpelita saja,” sanjungku sembari menikmati binarmu.

“Aku baik,” jawabmu singkat tak memandang mata.

Gemulai tingkahmu, serta anggunnya tutur kata membuatku mematung sejenak. Mengatur desah napas agar tenang tetap tergandeng erat. Aku larut dalam buaian bayang yang memaku setiap jengkal harapan. Ingatkah kau, Tya, apa itu makna perjumpaan, atau juga apa itu esensi perpisahan? Jikalau kau lupa, akan kupapah kau mengingatnya.

Perjumpaan adalah laksana mentari yang bersanding dengan siang, air berpeluk dengan derasnya batuan, Adam bermesra dengan Hawa di taman surga, atau juga kau yang bergema dengan suaraku dari bilik telinga. Setiap jumpa pasti lahir tatapan sanjung. Lalu, di balik singgung muncul berantai gaung. Sesampainya semua hadir, kenangan menjelma arus laksana datang dari hilir.

Lagi-lagi kenangan. Entahlah, bingkai atau juga album yang biasa dipajang di dinding-dinding murung sangat kubenci akhir-akhir ini. Melihatnya membuat memoria muntah, menyerngit pula kening-kening basah hingga berat asa terukir sempurna. Dahsyat sekali makna kenangan untukku, untukmu, terlagi untuk kita.

Sedang perpisahan ialah jiwa yang berpasang denganmu tapi tak lagi sama setujuan, tak mau bersama untuk sejalan, hingga tiap satu dari kalian akan berlari menuju tempatnya berlabuh sendirian, tak berteman, terlagi berpegangan. Oh, sesekali aku menginginkan segala jerit tangis mencium naskah dramaku. Agar lebih berwarna jikalau nanti aku harus mengenangnya bersamamu.

“Apa kau mau, Tya? Kita saling menjalani ini bersama,” ajakku padamu. Tiba-tiba sekeliling berubah merah.
***

HARU, atau juga gemericik sendu senantiasa beradu dengan tawa serta renyah canda. Ketika hangat melekat, dingin berlari datang mendekat. Mengusir seluruh gegap menjadi sempurna sunyi yang senyap. Aku mencari-cari di mana ragamu. Kau yang sedari senja ada di tempat ini, menghabiskan waktumu bersama yang lain. Namun, saat gagak-gagak terbang rendah di pelataran, tiba-tiba kau bergegas pergi menghilang, menemui seseorang yang mengintip pekat dari ujung persimpangan. Kau seakan harus menepati panggilannya, menuju ke arahnya dengan tergesa. Tidakkah dia  sangat mengerti apa yang kaurasa, Tya? Yakinkah bahwa dia benar memahami apa yang kaucari? Aku ragu menatap ronamu.

Nanar mata ini tak sanggup menyeka tajamnya luka. Memadat, memekat, menghambat sampai aku berdiri menyandingmu agar tetap tertambat. Tapi kau memang harus melari, mendekapnya sambil berdiri bersama kabut malam hari. Diam. Lantas sejenak bergerak pergi melewati barisan ragaku yang mati suri. Semacam drama saja peristiwa itu. Sepenggalah detik, namun menggoreskan hitam ingatan yang pelik.
***

Setelah ini kau sungguh semakin tak berbekas. Tak akan ada pula asap yang hinggap memeluk harap. Aku pasti akan benar-benar mencarimu, tapi nanti, ketika raga itu telah jauh dari spasi dirimu. Selama dia ada, aku yang membutakan mata, tak mau lama menatapmu, Tya. Sebab aku lelaki, tak ingin menjamah setiap jangka yang telah ia raih. Tunggulah sejenak, aku janji akan menjemputmu kelak.

Oh, sekarang aku juga benar-benar yakin, Tya. Setiap kelopak bungaku akan perlahan jatuh sebagaimana helah daun yang mengering, lepas dari tangkainya yang selama ini kokoh memapah derita. Tepat sebelum kau menghilang, diam-diam kusisipkan secarik surat ke dalam saku lenganmu. Bacalah saat penjagamu tertidur pulas. Buatlah pigura agar tak lapuk termakan rayap. Namun, jangan sesekali kau perlihatkan surat ini pada seseorang lain, kecuali aku. Aku tunggu kau tepat di hari yang tertera dalam suratku: Rabu, 30 September 2020.
(IPM)

Surabaya, Agustus 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers