Cerita Tentang Kami

December 21, 2012



SUNGGUH aku tidak akan bercerita tentang apa yang kita lakukan selama ini. Sebab, waktu belum cukup berakhir. Masih ada esok di mana kita berjanji bertemu dan merajut tawa lagi.

Kalian tahu, siapa yang mempertemukan kita jam 10 di depan bangunan tinggi menjulang tadi? Siapa pula yang rela menggerakkan kaki di tengah libur semester untuk sekedar bertatap menukar sedih? Jawabnya bukan aku. Bukan juga bersebab kamu. Namun kita, dalam ikatan yang kata orang disebut persahabatan.
 

Aku masih ingat kala satu dari kalian berlampau waktu berjanji akan bertemu pagi ini. Bukan teruntuk apa, tapi demi merayakan keberhasilan sesaat, atau melepas penat setelah berminggu dihujam beribu tekanan ilmu dunia. Kita manusia, bukan panci bertekanan tinggi, benar?

Hari yang dijanjikan tiba, kami datang berjumpa pada tempat yang ditentukan. Kulihat mereka sedang termangu menunggu rekan yang lain. Aku yang sedari tadi melagu, tetap melaju membawa tinggi-tinggi langkahku, menyapanya, untuk kemudian menanti hingga semua terlengkapi.
***

TERIK mentari menyapa, lekukan bangunan megah melambai mengajak sesiapa untuk singgah. Kami sedang mengantre, menunggu giliran dipanggil oleh pelayan sebuah tempat pencipta kenangan. Entahlah, sedari tadi kalian sangat menginginkan mencetak sebait kenangan dalam kertas berwarna pelangi.

Dalam kertas itu, kalian tahu, nantinya hadir bermacam ekspresi wajah serta topeng-topeng manusia. Tentunya kalian sendiri yang menentukan, apakah akan memakai topeng sedih, topeng riang, atau topeng keduanya untuk menyamarkan resah hati yang dirasa. Oh, itu semua dibebaskan.

Lalu, terciptalah bingkai-bingkai kenangan, yang akan diingat kala kalian ingin kembali ke masa itu. Ya, kami memang tidak akan bersama sepanjang waktu. Barangkali, besok atau lusa, jikalau satu dari kami tiada, sebait cetak kenangan akan mengobati segala kerinduan yang meregang. Maka, kami mencetak kenangan di dua tempat berbeda, dengan alibi tak ingin melewatkan setiap helah yang tersisa.
***

PANGGILAN Tuhan berkumandang, sebagai insan, kami meletakkan kewajiban serta kebutuhan pada tempat yang seharusnya. Aku melenggang ke tempat tinggal Tuhan di dekat sana, bersama ketiga sahabat yang lain: W, A, dan S. Maaf, inisial kurasa cukup bagi kita. Sebab, apalah arti sebuah nama. Jikalau berlampau lalu kau memberikan nama lain untuk mawar, dia tetap saja wangi. Maka, aku mulai mengabaikan penamaan.

Oh, Tuhan menyambut kami dengan hujan. Hujan yang rintiknya semakin lama semakin deras hingga seperti tirai air di pelataran bulan Desember. Entahlah, aku selalu bersyukur tentang penciptaan hujan. Tidakkah kalian pernah berpikir jikalau hujan diciptakan bukan dalam rupa rintik, maka sesiapa boleh jadi terluka karenanya. Bahkan, hujan yang seperti menuang air dari langit akan serta merta merusak setiap bangunan bersama para peninggalnya. Namun, Tuhan selalu memberikan hujan dengan rupa rintik. Tidak teruntuk apa, tapi supaya kita bersyukur kepada-Nya.
***

KAMI memesan berbagai hidangan siang untuk disantap. Nama-nama menu yang asing di telinga orang kebanyakan, tapi itulah seni sebuah pengalaman memakan. Ketika kau pernah memesan dan merasakan, barangkali kau telah mengerti apa makna hidangan tersebut. Dan kami mulai menunggu, memperhatikan lalu lalang orang yang enggan menorehkan kesan. Hujan di luar masih tumpah. Namun, siapa yang menerka, jikalau hujan akan mengguratkan keindahan setelahnya. Itulah pelangi, dengan berbagai warna, yang memadu untuk mengukir satu arti. Oh, barangkali seperti kami.
***

RUANGAN gelap memagut, menyambut kami yang duduk bersangkut pada busa-busa berlapis katun yang berjajar rapi. Di depan kami, puluhan inci layar dikembangkan. Di sana, kami ingin mengambil kisah dari pembuat naskah. Apabila beruntung, kami bisa jadi memperoleh hikmah tentang sebuah kejadian di fenomena kehidupan, tapi jikalau tidak, barangkali kami hanya menerima lelah mata bersebab membelalak memandang semua.

Berlatar di Jakarta dan kawasan Semeru Jawa Timur menjadikan alur cerita kian hangat dan tak tertebak. Berkisah tentang persahabatan, lika-liku kehidupan, serta cinta membuat makna kisah menjadi sempurna.

“Aku ingin seperti Arinda,” salah satu dari kalian berharap.

“Aku ingin seperti Zafran,” balas yang lain.

Sepenggalah tadi mungkin mengajarkan kami tentang beberapa arti persahabatan. Bagiku, sahabat tidak harus selalu utuh, terkadang boleh saja diakhiri untuk nantinya disambung kembali, tentunya dengan lebih erat lagi. Atau dengan berpisah, kalian akan menghargai apa arti perjumpaan. Sebab segala sesuatu barangkali terasa begitu berharga jikalau dia telah tiada.

Yang lain, mungkin kami disuguhi tentang romansa berseberang kekasih. Sungguh, tiada yang mengerti tentang cinta. Kau bisa menentukan tanggal kau akan menikah, tapi takkan bisa kau menakdirkan kapan kau jatuh cinta. Barangkali kata itu terlalu rumit untuk manusia. Sesekali kau tinggal menikmati saja, sebab kata dan bualan penyair seringkali hanya menghamburkan makna cinta itu sendiri. Ya, memang benar adanya, terkadang orang yang mencintaimu ialah dia yang tidak pernah menyatakan cinta padamu. Bukan bersebab apa, dia hanya takut setelahnya kau memberi jarak, maka dipendamnya rasa itu sedemikian waktu. Namun, cinta yang tak terungkap tak lebih merupa bunga yang mekar tapi layu tak terpetik oleh sesiapa. Itulah sebuah elegi yang mengundang air mata.
***

MALAM mengembang, lampion-lampion listrik dinyalakan. Beramai orang mulai datang menghangatkan suhu Kota D yang dingin sebiru kesedihan. Beberapa dari kami pamit berpisah, diucapnya kalimat: Terima kasih dan sampai jumpa lain waktu. Namun, sungguh aku kurang mengerti tentang apa makna ‘lain waktu’. Sebab, seringkali ‘lain waktu’ hanya sesumbar kalimat untuk menghaluskan dua frasa ‘selamat tinggal’. Dan mungkin, tak ada lagi selarik waktu perjumpaan di depan sana untuk kita bersama. Oh, itu hanya sentimentil penyair, tak perlulah kalian bersedih akannya. Untuk yang pergi: Sampai jumpa, semoga hari esok lebih indah. Kalian tahu, sebenarnya kita tidak berpisah, masih menapak pada tanah yang sama, masih berteduh pada langit yang sama, hanya saja tak berjumpa.

Alunan musik menghentak telinga kami yang lelah. Kini, seakan kami telah berlagak bak superstar layar kaca. Berbekal microphone dan lirik, kami menggadai lelah dengan perasaan lega. Disantapnya kalimat-kalimat indah, disapunya ritme-ritme sempurna, serta dihapusnya bebulir melankolia air mata. Oh, hari ini tak mungkin terulang. Maka dari itu janganlah kalian melukai senyuman dengan setetes kesedihan.
***

LENGKAP sudah kenangan kita hari ini. Dalam anganku, aku masih mengingat khas-khas kalian yang unik nun sempurna. Amila dengan lengking suara. Arizki dengan ketulusan serta kekuatan memakan segala. Ade dengan “proyek”-nya. Ummi dengan “program”-nya. Imana dengan “ontime”-nya. Deby dengan “strong”-nya. Wendi dengan kesabarannya. Ipul dengan kerendahan dan keramahannya. Astri dengan kesederhanaanya. Lu’lu’ dengan kebijaksanaanya. Suci dengan senyum kecilnya. Serta aku dengan cerita pendek ini.

Semoga ada waktu di lain hari untuk kita merangkai kenangan lagi. Ini kami, teman pergi yang akan menjadi sahabat sejati...
(IPM)

Bandung, 21 Desember 2012 : Pukul 23.34

Followers