Bunga Tidur

May 20, 2012


KETIKA aku terpejam oleh gemerlap perpisahan atau juga manis perjumpaan, Bunga datang bersambang memeluk hati ini. Pelan. Sekejap. Sebab dia harus terburu pergi sebelum langit bersiap menyinari.

“Bunga, sampai jumpa...” kataku tipis bernada senyap.
***

SEBELUM perpisahan, pastilah penjumpaan senantiasa mengambang. Memindai segala kenangan yang harus dicetak hati-hati. Tidak pula seketika. Alasan berkata jikalau kau memberi warna lembarmu dengan sesuka, pasti, atau barang tentu pengakhiranmu akan di luar logika. Maka kau melukisnya dengan perlahan. Hidup ini memang terkadang selaksa sandiwara, selalu butuh ‘tukang naskah’ yang memilah bait-bait cerita.
 

Ceritaku adalah halaman senja yang terkadang tidak jingga. Setengahnya diisi oleh biru langit, sepertiga yang lain dilukis hijau tosca, sedang sisanya bersenyawa lelehan merah muda, cokelat, juga abu-abu. Semua menyatu membentuk awan ceritaku yang senja. Yang apabila dilapangkan akan timbul bintik hitam di antara kanvas-kanvas putih tulang. Tertata acak, sebab hidup takkan selalu bisa ditebak. Boleh jadi kau telah merencanakan sedemikian rinci tentang harimu, tetapi tidakkah kau tahu jikalau hari adalah bukan sama sekali milikmu. Ada yang memiliki hari, ada pula pemilik mentari, pembuat hujan, juga ada penyimpan keheningan. Semua telah tertata dengan pola yang tak sederhana. Dan tugas manusia tidak lain ialah mencari jawabnya.

Makna biru langit di senjaku berkisah tentang kebebasan memilih kehidupan. Tak terelakkan, jikalau hidup selalu berpasang dengan pilihan. Dan seorang insan yang cakap memilih hidup, tentu dunia tak akan memberi sepucuk kecewa. Sebab pilihan hanyalah tentang mana yang benar atau tersisa salah. Tak ada yang relatif sementara pikir masih kian jernih menaksir. Dan jawaban relatif hanya keluar dari mulut orang-orang peragu. Pembimbang. Para perasa yang gamang menentukan pilihan, yang menghindarkan salah dengan mencampurnya dengan kebenaran. Tak lain agar kita bingung menyatakan sikap, lalu lamat-lamat dia pergi tanpa memberi isyarat.

Sedang hijau tosca di halamanku berdongeng tentang ketenangan jiwa mengarungi hidup. Ketenangan atau bisa juga disandingkan dengan perasaan damai ialah perihal yang ingin dicapai setiap manusia. Bukanlah harta. Tak pula tahta ataupun wanita. Karena takkan bermakna lagi ketiganya jikalau kau tak bisa memejamkan mata di penghujung hari, tak mampu bernapas pada hangat lambaian pagi, serta selalu merasa sepi tepat di hari jadimu yang megah. Semua bukan sebuah tujuan ataupun pengharapan. Setiap insan selalu membutuhkan tenang. Dan tenang tak bisa diperoleh dengan uang atau yang lain. Cukup alam spiritualmu yang berbicara dengan dirinya, dengan semesta, juga dengan ‘pemilik jiwamu’ secara halus perlahan. Jikalau semua terlampaui, mati bukanlah sebuah ketakutan lagi.

Lalu, goresan merah muda, cokelat, abu-abu yakni berdendang soal kehidupan manusia. Selalu ada saja fluktuasi di antara lembaran kisah. Tak ada yang sama, tak juga yang mirip atau mengembarkan. Karena sebuah jari pastilah hanya untuk jemari yang lain, yang tepat ketika saling menggenggam, tapi tidak sama. Bukankah serasi tak harus searti? Tidakkah seiring tak mesti saling menggiring?

Jikalau kau mencintai seseorang, terlagi memilikinya, kau tak pantas memegangnya erat. Biarkan dia berjalan dengan hasratnya. Tunggulah dia hingga kembali sendiri ke rumah. Kau boleh meregang khawatir, tapi tidak untuk mencengkram. Karena sungguh bunga yang terus dibayangi tak akan bisa tumbuh menjadi rupawan. Terus kerdil dengan rupa yang senantiasa tak bebas. Tak lepas. Dan pada saatnya nanti, kau yang akan merutuk mengenangi dirimu. Memandang seseorang yang kausayang berlari menuju relung yang ia cinta. Namun, bukan kau. Melainkan seseorang lain yang menerimanya dengan hati sesuka ketika ia menari dengan anggun, bernyanyi sembari menegak bergelas minuman, atau juga melukis wajah orang itu dengan bibirnya yang merah. Lantas, kau iri melihatnya. Dan mungkin, sebelum itu berlaku, segeralah renggangkan ikatanmu. Tunggu saja dia sebagaimana warna abu-abu yang mengajarimu tentang keraguan. Merah muda yang memberimu pelajaran soal jatuh cinta. Atau juga cokelat yang dengan manisnya menghadiahkanmu sepenggal perpisahan.

“Lebih kurang seperti itu awan ceritaku. Bagaimana menurutmu?” tanyaku padanya.

“Awanmu indah, tapi tak berarak,” jawabnya singkat memberikan komentar.

“Lalu, bagaimana cara mengubah awanku agar berarak?” aku bertanya lagi.

“Kau yang tahu caranya sendiri, bukan aku,” terusmu lantas berlalu.
***

PERCAKAPAN tadi membuat hariku menjadi bimbang penuh segenap gamang. Sarat akan tanya yang ingin disampaikan tapi tak ada sesiapa. Kucari jawabnya lewat mentari, tiada ia memberi tanpa mengambilnya lagi. Kukisahkan semuanya pada malam, namun ia hanya mengabarkan sepi kegelapan. Kugantungkan harapan akan bintang, tetapi ia hanya menebar senyap cahayanya, tak membalas segala gelisah. Kini aku tertambat pada keadaan yang pekat, yang tiada seorang mengerti di mana dasarnya.

“Bunga, di mana kau berada? Bolehkah aku jumpa?” bisikku pada semilir senja.
***

BUNGA masih menyendiri meneguk kesedihan di antara bilik-bilik kamar. Aku bisa mendengar suara sesenggukan tangisnya. Melayang. Menghentikan waktu hingga sesiapa yang menangkap getarnya akan ikut menjadi sayu. Tak terkecuali aku. Meski aku tak bisa memandangnya meretas air mata, tapi sungguh, aku sanggup merangkai kisahnya yang senja. Sesenja ceritaku terdahulu, ketika mentari masih menguning menebarkan cahaya, atau juga gemintang yang sarat menumpahkan sinarnya.

Kucari kau dengan seksama ke berbagai tempat dan keadaan. Ke tepi lautan, yang garisnya membentuk pola melengkung laksana sepasang mata orang yang tengah tersedu menangis. Kubuka pula karang-karang purba yang usianya tak mampu lagi tersurat. Hingga setiap pencari ragam tak mampu menghenti segala nafsu untuk menukarnya dengan ganjil rupiah. Lalu kulanjutkan berjalan ke dalam rimbanya hutan. Rimba yang buas dengan segala perangkap yang sengaja dibuat agar siklus alam tetap terjaga. Namun, ada pula jebakan yang tak masuk di mana pun jenis klasifikasi. Ialah dia, yang menebar sejengkal ancaman dengan taruhan sejarah hutan. Mereka oknum yang melakukan barter antara materi dengan derita anak cucunya. Yang menjual segala bahagia buah hati anak-anak mereka dengan senyuman semu. Namun, mereka bangga akan kursi empuk, terlagi minuman berleleh melumpuhkan syaraf. Mereka yang memihak kaum penguasa tidak lain sedang menampar wajah keluarganya sendiri dengan pelan, yang lambat laun semakin mengeras. Hingga tak terasa seluruh keluarganya tak bisa ikut bernapas menghidupi. Mungkin pada saatnya nanti hanya tersisa sesuatu yang berasma penyesalan. Tapi selalu tak bermakna, bersebab semua telah terlambat. Telah tertambat menjadi bingkai-bingkai kesedihan yang abadi.

“Bunga...Bunga...Kau memang lihai bersembunyi...” gerutuku menghelahnya.
***

KARENA tak membuahkan, maka kuhentikan segala pencarian. Kurasa, pastilah semua tindakanku berujung pada kata sia-sia. Sebenarnya aku murung setelah memutuskan ini. Namun, semenjak napasmu tak lagi berbau, atau sorot matamu tak sanggup menguap, serta lebar telingamu yang tak kuasa menangkap getaran, kau tak lagi menghadirkan harapan.

Sungguh segala kisahmu adalah mirip dengan pelita negeriku. Kau yang sebagaimana negeriku sejatinya sedang tertidur pulas di suatu tempat tanpa batas waktu. Bahkan orang awam boleh jadi menyebut tidur tanpa batas waktu –tidak lain– ialah mati. Dan sesuai pola ragawi, pasca segala tiada nyawa, maka mereka tinggallah jasad yang membusuk. Yang aromanya membuat seluruh lapisan enggan menengok, terlagi mendatangi. Lantas, mereka berlari pergi membawa masing-masing alasan. Sebagian logis, tapi banyak di antaranya yang mengada-ada. Semacam budaya saja, di mana jika salah satu pergi maka yang tersisa tak akan menahan kuasa berdiam diri. Ikut-ikutan ialah identitas di sini. Agar kau mengerti maksudku, akan kuberikan sebuah analogi. Di sini, ketika ada seseorang berhasil mencapai puncak, maka yang lain akan merendahkan agar kembali sederajat. Bukannya membuat diri mereka sejajar dengan meninggihkan, tetapi opsi mengerdilkanlah yang ber-Tuhan. Dan sudah bukan rahasia umum jikalau mereka yang gagal akan dihadiahi seluruh kebencian. Lantas kebencian itu akan ditumpahkan kepadanya seketika. Barangkali setengah dari mereka hampir pasti akan berdiam di balik jeruji, atau juga mendekam bahagia dalam barak-barak yang tertawa menanti mati yang lambat merangkak menghampiri.

“Sungguh mirip denganmu, Bunga. Tak ada yang berbeda.”
***

TEPAT di hari ini, Bunga menampakkan diri dengan wajahnya yang putih serta berbusana serba anggun. Rambutnya yang panjang sebahu dibiarkan tergolek menahan hempasan angin tak bersuhu. Lalu kuperhatikan bibirnya yang merah basah seperti tengah menegak butiran air mata. Namun, ada yang ganjil. Bunga tak membuka mata. Dia memejam sambil berkata yang bukan-bukan. Dia membuta sembari berjalan ke arah pusaran gelisah. Hingga bersambut suara senja, Bunga tetap menahan segala sikapnya. Barangkali Bunga sedang mementaskan ‘naskah tentang negerinya’. Negeri yang buta dengan berjuta mata saling memicikkan. Negeri yang hijau tapi sarat akan merah kemarahan. Ialah negerimu, yang berinisial huruf vokal, yang sedemikian hari hanya menyisakan selarik nama.

Pelan-pelan kubisikkan sebaris pesan tepat ke telingamu: Selamat tidur, Bunga. Semoga kau terbangun ketika negerimu telah bermata. Salam tak jumpa.
(IPM)

Bandung, Mei 2012

#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers