Kejutan

January 30, 2015


Ia baru saja memasuki minimarket di bilangan Dago. Langit di luar tampak tidak bersahabat. Hujan, atau mungkin sekadar gerimis tetap saja akan membuat badanmu basah tanpa bahan parasit.
 
Ia, yang rambutnya lurus nun panjang mirip seorang perempuan, kuperhatikan seperti tengah kebingungan mencari sesuatu. Mungkin, baru pertama kali ia ke mari sehingga belum hapal letak barang yang ingin dibeli.

Aku masih melihat gerak-gerik lelaki itu perlahan. Sementara perempuanku tengah gamang menentukan pilihan, membeli merk ini atau itu untuk memenuhi kebutuhan hidup bulanannya. Hmm, membosankan memang menjadi pendorong trolley untuk perempuan yang tengah asyik berbelanja.

“Bentar-bentar, habis ini ke kasir kok, tapi mampir ke tempat coklat dulu. Aku ngidam pengen banget,” katanya sembari tersenyum, seperti mengerti bahwa mukaku sudah tertekuk kusut sedari tadi.

Lelaki itu ada di sana, di deretan coklat berbagai varian. Coklat dalam negeri berisi kacang, kiwi, almon, mede, hingga yang pahit tanpa tambahan apa-apa. Beberapa orang selalu punya selera yang otentik, tanpa hiasan rasa. Namun, lelaki itu masih tak bergeming, seperti memikirkan sesuatu. Entah rasa, tampilan bungkusnya, atau juga pricetag yang tertera. Maklum, lagi tanggal tua.

Perempuanku hampir sama. Mengutak-atik bungkus beberapa coklat, membolak-balikkan, mencermati komposisinya, lalu menaruh lagi di rak. Aku masih belum paham mengapa sebegitu sulit bagi perempuan menentukan pilihan, walau cuma untuk membeli sebatang coklat.

Yap, dia mengangguk, lalu tersenyum tipis. Sepertinya, dia tengah membayangkan sesuatu yang membuatnya bahagia. Entah apa. Namun, saat lelaki itu hendak mengambil white chocolate produksi Toblerone, dia menjatuhkan sesuatu. Setangkai bunga mawar putih tergeletak di lantai, terlepas dari saku dalam jaket denim hitam miliknya.

Secepat cheetah, dia memungut kembang itu beserta coklat pilihannya dari rak, lalu pergi. Oh, mungkin karena malu atau risih terhadap mata sekitar yang teliti.
___

Kami pulang setelah hujan menjinak. Jaketku menutupi tubuhnya. Dingin. Hawa Bandung saat seperti ini memang cukup menyebalkan. Karena dingin pula, terkadang otak ini sedikit beku.

Di lampu merah bawah Pasupati, yang timer-nya hampir 120 detik, seorang perempuan yang hendak menyeberang dipaksa berhenti oleh seorang lelaki. Di tengah jalanan yang diam, dia berlutut, mengeluarkan setangkai mawar putih dan coklat sembari berkata, “Sudihkah kau menjadi kekasihku?”

Perempuan itu tersenyum, kemudian mengangguk. “So sweet ya, Sayang,” komentar perempuanku yang menyaksi dari jok belakang motor. Namun, beringas bunyi klakson segera saja membuat mereka minggir karena lampu mengisyaratkan warna hijau.
___

Di depan rumahnya, aku berlutut, mengeluarkan cincin emas putih dari saku celana seraya berbisik, “Bagaimana, Sayang, aku lebih sweet dari lelaki di traffic light itu, bukan?”
(IPM)

Bandung, Januari 2015

#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers