Itu Saja...

March 30, 2014




Namanya, Evin. Itu saja...

Ada yang berbeda di balik kacamata dengan frame hitam miliknya. Ada sepasang mata yang bersinar tak seperti biasa. Hari ini, genap sebulan aku menjajikan untuk menggurat namanya dalam cerita. Bukan maksudku menunda melukismu, hanya saja aku, hingga kini masih meragu.

Aku begitu takut apabila harapmu akan goresan pena ini tak seindah angan-angan. Maka, wajibku sangat giat menyiapkan. Beberapa hal di dunia ini terkadang sempurna apabila tercipta tak sama. Seringkali yang berseberang justru teramat dicari.

Pelan saja, aku berkisah mengenai dirimu. Pesanku, jangan berhenti membaca sebelum kaulumat habis keseluruhan lariknya...
***

Setiap insan terwujud unik, tak pernah ada yang persis sama. Setiap pikir mengalir ke muara, entah melalui jalan tersingkat, atau berputar-putar dahulu sebelum sampai. Beberapa lelah saat tujuan sudah dekat di pelupuk mata. Beberapa lain terus melaju, tanpa pernah tahu sebenarnya apa maksud ketika sampai pada yang dituju.

Ini cerita akanmu. Perihal seorang gadis berambut lurus melebihi batas bahu. Tentang perempuan yang gemar membaca tulisanku. Kini, kau yang mewujud tokoh itu. Bagaimana rasanya, akankah sama seperti kau membaca lain karya?

Mengenalmu ialah sebuah ketidaksengajaan. Tidak sengaja aku mengikuti perhelatan tulis-menulis yang kaucipta. Tidak sengaja pula aku mendapat salah satu piagamnya. Tidak sengaja aku datang ke Kresna dan bertatap dalam singkap. Tidak sengaja.

Selang beberapa ganjil hari, aku lupa tepatnya, apakah kamu, ataukah aku, yang lebih dulu menghubungi. Dalam percakapan, kau berkabar tengah berada di kotaku. Kota sesak dengan hawa panas khas pesisir utara.

Tentu, batinku bertanya, dalam rangka apa? Dengan siapa? Sampai kapan di sana? Jawabmu kala itu tak biasa. Dan, aku sampai kini masih mengingatnya. Sampai besok, dengan teman, dalam rangka liburan, sekalian ingin ke KBS, katamu.

Apa menariknya dengan tempat berkandang banyak tapi tak terawat itu? Kau tahu, aku yang tinggal di kota ini saja hanya sekali bersambang ke sana. Itu pun saat masih berusia belia, ketika guru taman kanak-kanak membujuk para orangtua untuk menggiring anaknya ke sana. Alibinya satu: agar lebih mengenal alam.

Namun, kau tidak sedang bergurau mengenai kenangan masa kecilku. Kau ingin sekali mengunjungi tempat itu. Barangkali, kau ingin membuktikan kabar-kabar burung yang beredar di media massa.

Kabar mengenai seekor jerapah yang mati akibat memakan plastik-plastik sisa pengunjung. Kabar soal singa yang terbelit kawat besi hingga tak kuat membuka mata lagi. Kabar tentang sebuah kandang tak layak dengan penghuni unggas yang berjubel tak karuan.

Oh, ada banyak hal kejam mengenai KBS. Ada banyak rencana lain perihal pengalihan fungsinya. Wacana tentang pembangunan mall di lahan tersebut hangat menyeruak. Untuk tujuan itu, mungkin satu per satu satwa perlu dimusnahkan. Untuk capaian itu, barangkali harus ada berita mengenai kematian hewan tiap harinya.

Ini tentu sah-sah saja apabila disandingkan dengan pemilik yang bertangan besi. Katanya, KBS selalu rugi. Ya, wajar saja bila terbesit untuk mengubah fungsi. Katanya, KBS tidak jelas siapa yang mengelola. Ya, wajar saja jika saling melempar tanggung jawab akan siapa yang salah.

Semua wajar, kan? Aih, justru yang tak wajar itu kamu, yang ingin bersinggah di situ, ujarku.
***

Aku tidak akan banyak berkomentar tentang apa-apa yang kurang kumengerti. Sebab, tong kosong dengan bunyi nyaring akan lebih menyebalkan ketimbang keheningan. Yang kutahu mengenai KBS cuma itu. Yang kutahu mengenai dirimu hanya itu.

Maaf jikalau cerita ini tanpa alur. Apabila ada lain waktu, barangkali aku perbaiki. Satu hal darimu yang kupelajari: Being unique is better than being perfect.

Namanya, Evin, unik pribadinya. Itu saja...
(IPM)

Bandung, Maret 2014

Followers