Menunggu Dia yang Semu

August 05, 2013




Kau masih melangkah, terus berjalan tak kenal arah. Sesekali berputar, sembari menghela napas yang kian gemetar. Gurun gersang, hingga ilalang kau arungi. Sendiri.

“Mencari yang lebih baik,” katamu lekas, lesuh.

Secarik kalimat itu, sungguh berhari menjadi kiblat bagimu. Perjalananmu kian tak berujung. Semakin ke dalam belantara, semakin saja kau tak mengenal di mana rupa ujungnya. Kau pun lupa membeda: mana tujuan, mana ketidakpuasan.

Selalu kau berujar bahwa dia tidak cukup baik. Dalam anganmu, seperti ada konsep mengenai pendamping teringinmu. Sayangnya, tak lama, senantiasa kau melahirkan kriteria baru.

Lalu, bukankah dulu kau pernah belajar mengenai apa itu kehampaan? Tidakkah kau lebih paham, dibanding aku, tentang analogi ketidaksempurnaan?
 
Kau, belum juga sadar jikalau yang lebih baik itu semu. Dan dirimu sendiri yang senantiasa mengada-ada. Hampir pasti, takkan pula pernah kau menemukan. Yang baik, ialah justru dia, dengan segala ke-kuranglebih-annya.

Kau, lantas ingin berpaling kembali. Sedang dia, telah amat kumengerti, telah menutup bagimu rapat-rapat pintu hati. Denganmu, tak ingin dia bermesra lagi.

Pada senja lain, aku pernah berujar, bertanyalah pada dirimu sendiri, “Oh, apakah kau telah mencari dengan cukup jauh? Atau, bahkan terlampau jauh?”

Lelahmu membuncah. Tetapi terlambat, momen dan memoria terlanjur tertambat. Rapat. Sejenak, kau merenungi takdir, yang kau warnai dengan tintamu sendiri.

Kali waktu, perkenankan pula aku berbincang dengan nadimu. Tentang kepantasan, perihal sudah cukup baikkah dirimu untuk yang lebih baik? Akankah kau sengaja dipertemukan, dengan yang lebih baik oleh Tuhan, apabila masih belum memenuhi kepantasan?

Maka, persiapkan dirimu untuk dia... yang terbaik, setidaknya menurut nurani hatimu. Sebab, perkara hati, tidakkah seorang pun, kecuali kau dan Tuhan, yang benar-benar tahu.
(IPM)

Surabaya, Agustus 2013

#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers