Mutiara Jiwa yang Sempurna

February 03, 2013



KAU tak pernah membujukku untuk bercerita. Tidak ada pula isyarat darimu untuk berbagi kisah kepada yang lain. Kau adalah kau, gadis periang yang senantiasa tersenyum. Entahlah, aku tak seberapa mengerti apa arti dari tipis senyummu. Adakah kebahagiaan di sana? Adakah kesenangan yang megah? Atau juga sebuah kosmetik untuk menutupi segala luka? Ah, aku tak sebaiknya terus menerka-nerka.

Ya. Aku dahulu tak sebegitu mengenalmu. Bahkan, kau hanya kusapa ketika lewat, atau juga saat bergelayut dengan yang lain. Namamu, berartikan mutiara jiwa yang sempurna. Kurasa, ibumu, atau juga nenekmu, atau sesiapa yang menaksir asma itu tak menguakkan kesalahan sedikit pun.

Lalu, benarkah nama ialah penggambar diri seseorang? Tidak, menurutku. Barangkali, nama hanyalah ungkapan dalam rupa harapan dari seorang ibu untuk anaknya kelak. Dengan nama itu, mungkin seorang putra bisa menjadi seorang pria, dan seorang putri boleh jadi menjelma bidadari yang rupawan. Tiada yang tahu, itulah esensi namamu.
***

KALIAN tahu, dahulu aku pernah berkunjung ke suatu tempat yang jauh dari keramaian. Di sana, lembah menyapa tiap pagi. Aliran sungai deras menyeruakkan ketenangan ragawi. Rerumputan yang hijau, bergema mendermakan embun untuk kaki basah yang bersiap menuju sawah. Dan selaksa pada dongeng, tinggallah sebuah keluarga hangat di tengah sepi yang memekat. Aku masih mengingat bagaimana riuhnya suasana rumah ketika makan malam dihidangkan.

“Ibu, piring Ujang mana? Udah lapar, Bu.”
 

“Iya, ini piringmu. Ayo, lauknya dibagi rata ya dengan adik-adikmu,” kata ibu.

Oh, dinginnya hawa desa tak sanggup mengoyak suhu ruangan kala keluarga itu bercengkrama. Kalau dicermati benar, banyak anggota keluarga di desa ini yang masih berumur belasan atau juga dua puluhan. Lelaki-perempuan dengan wajah khas peluh keringat. Namun, ada fenomena yang berbeda. Tiada pemuda yang bercita untuk mengubah takdir. Pemuda di sana hanya akan bermimpi menjadi petani, atau juga tukang kebun dengan istri yang berasal dari sanak tetangganya. Sementara wanitanya, tak lain juga menginginkan suami dari profesi tersebut. Dan asal kalian cerna, mereka rata-rata menikah pada usia yang relatif sangat muda, belasan, sudah tergerak menimang momongan. Mereka percaya perihal kalimat kolot: banyak anak banyak rezeki. Namun mereka lupa, rezeki tidak berada pada berapa jumlah anak-anak mereka. Sungguh, rezeki ada untuk para orang tua yang keras bekerja untuk memenuhi segala kebutuhan hidup anaknya. Sayang, kalian tidak tahu, dan mungkin paradigma itu hanya akan menurun pada anak-anakmu.

“Lalu, apa yang ingin kau perbuat untuk mereka?” tanyaku.

Aku ingin sekali mengubah semangat mereka untuk berkebun menjadi sebuah semangat untuk belajar yang giat. Kelak dengan ilmu, mereka akan lebih tahu bagaimana caranya hidup secara lebih benar. Bukankah ilmu teruntukkan kepada seluruh manusia, tak peduli dia tinggal di desa ataupun di kota? Lalu, mengapa mata-mata Tuhan hanya dapat melirik mereka dengan sinis, tak peduli akan segala kesederhananaan yang pedih?

“Tapi, Tuhan pernah berjanji bahwa Dia tiada mengubah nasib suatu kaum apabila tak ada kemauan mengubah dari kaum itu sendiri,” pungkasku, kemudian sarapan kami datang bersama lapar yang menghias pelan.
***

PADA sela makan, ada hal-hal dewasa yang kau tumpahkan tanpa sengaja. Tak berbekas di meja, di piring, atau juga di baju putih yang kau kenakan. Namun, kau tak tahu, jikalau alamku diam-diam berdaya merekam apa yang kau bicarakan. Darimu kuperoleh perihal bagaimana seorang wanita yang sejati.

Ya, barangkali memang benar jikalau tugas wanita ialah bukan mencari pria terhebat, tapi memposisikan diri untuk ditemukan oleh pria-pria hebat. Kau pun amat mengerti analogi tersebut. Kuterka, kau jauh lebih paham dariku kini. Dan seperti obrolan pagi hari yang lain, kau kembali berkisah tentang keluargamu serta fakta golongan darah yang susah aku mempercayainya.

Keluargamu, terdiri dari malaikat-malaikat yang gemar bernasihat. Ibumu, senantiasa memberi berbagai resep hidup untukmu. Mungkin saja, keanggunanmu ialah temurun dari perilaku ibumu yang sempurna. Aih, kali ini aku tak menerka, hanya mengungkapkan semua. Darimu, kupahami jikalau wanita memiliki sisi lain yang tak dimengerti siapapun, juga oleh dirinya sendiri. Dia bebas, praktis, melangkah menuruti segala intuisi. Dan wanita, hanyalah akan mencari pria yang membebaskan dirinya selayaknya dirinya.

Kemudian, tentang fakta golongan darah, aku tak banyak berkomentar. Cukup mendengar. Karena, tak adil rasanya jikalau berjuta manusia hanya diklasifikasi berdasar empat golongan saja. Lantas, bagaimana dengan irisan antara keempat golongan tadi? Adakah yang disebut unik atau juga otentik tak terdapat dalam fakta tersebut? Lalu, nantinya timbul pasangan yang cocok antara golongan satu dengan yang lain. Sebegitu mudahkah Tuhan mencipta relasi? Akankah kalian telah berpikir sejalan dengan pola pikir Tuhan? Kurasa, kalian harus lebih belajar. Oh, ini hanya sentimentil penulis, tak perlu dimasukkan dalam hati.
***

SEBENARNYA, aku ingin berkisah lebih panjang lagi. Namun, cukuplah pengakhiran menjadi patut disematkan di sini. Dengarlah, ini hanya sebuah kejujuran. Sebab kejujuran ialah laksana rias wajah yang menor, tak terbayang jikalau harus disisipkan dengan rayuan lagi. Dan kesederhanaan bagi seorang pria katamu, atau juga kata ibumu, sangatlah berkesan lama dalam laman memoriku.

Barangkali, jikalau kau ingin mencari inspirasi, tak perlu bergelut untuk aktif mengikuti seminar-seminar mahal. Cukuplah bercengkrama dengan teman-teman terdekatmu. Mungkin saja, di balik senyumnya ada cerita yang menggetarkan jiwa, mungkin saja, di sanjung bibirnya ada dongeng yang meninabobokan romansa, atau juga di balik tangisnya barangkali tersimpan kedewasaan hakiki milik seorang wanita. Ini ceritamu, maaf, kukisahkan semua tanpa meminta izin terlebih dahulu. Sebagai apresisasi, kutulis lengkap judulnya dengan namamu: Mutiara Jiwa yang Sempurna. Oh, semoga kau berkenan membacanya.
(IPM)

Bandung, Februari 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers