Wanita yang Mencintai Bayangnya Sendiri

January 14, 2013



"Mengapa kau pergi? Kiranya, pernahkah aku memberimu sebingkai luka perih?"

Kau tak menghirau. Terus menjauh, mengangkat tinggi langkahmu ke sana. Ke arah yang katamu gelap tapi senantiasa kau singgahi tiap hari. Kukira, kau sedang memainkan nada agar sumbangnya kian sempurna, untukku, terlagi untuk kita.
***

KUAKUI, kau begitu lihai memberi. Segalanya kau tawarkan kepadaku dengan indah, serupa untaian kata khas seorang lelaki dewasa. Perhatianmu, seakan tak pernah lapuk menyinari gerakku. Tatapanmu, selaksa menggenggam mesra gairah ketika dunia dengan tega menghadiahiku kecewa. Dan pengertian itu, sungguhlah membuat citra dan cita teruntukmu seutuhnya. Inikah yang dimaksud jatuh cinta?

"Apa kau sedang bertanya?" katamu pelan.
 

"Tidak. Aku hanya menerka tentang diriku. Tak perlu kau memberi tahu. Sebab aku tak butuh alibi. Cukup mencintai, sampai nanti..."
***

LAIN waktu, izinkan aku mengembalikan semuanya kepadamu. Akan kubagi seluruh yang pernah kauberi. Bukan. Bukan untuk mengecewakan, melainkan demi mengenang masa-masa paling berkesan. Bersama, kau dan aku dalam satu naungan.

Nantinya, aku akan membawa kado-kado kenangan yang telah terbungkus rapi terlagi berpita. Ada yang berlapis kertas bergaris, ada yang tertempel ucapan mesra, ada yang sengaja dibubuhi manik berwarna, serta ada pula bingkisan basah karena air mata terdahulu yang senantiasa tumpah.

Oh, itu semua untukmu, Sayang. Pintaku satu: tetaplah duduk manis di tempatmu. Jangan beranjak ke mana-mana. Karena, kelak kau pasti kecewa, bila tak jalankan apa yang kupinta.
***

KAU, seperti sepi atau sunyi yang lain, selalu luwes mengajarkan aku tentang memeluk kenangan. Aih, barangkali telah bosan angan ini meregang melankolia usang. Apalagi, di sampingmu itu, kini kutahu, tak cuma batinku yang menunggu. Ada yang diam-diam memerhati. Namun, semoga kau tak merasa, terus memandang ke arahku saja.

"Kau lelah? Mengapa kau tak berdiam sejenak saja?" pungkasmu hampa.

"Bolehkah pertanyaanmu tadi kubalikkan? Sebegitu tak tahukah dikau, hingga tiada paham bahwa hatimu sedang merasakan getar?" ucapku padamu.

Lantas kau gamang. Dan seketika, air mukamu berlinang.
***

"Kau tahu, bagaimana rasanya mencinta tanpa sesiapa menghirau akannya? Dan bagaimana pula pedihnya, apabila orang yang kaukasihi mengerti bahwa ia dicintai, namun dibiarkannya layu hingga bercampur elegi?" tanyaku.

"Tentu sakit. Sangat taklit," ujarmu singkat.

Aih, jawabmu sungguh melukiskan apa yang tertera dalam rasa. Mengguncangkan amarah hingga melonjak kian ronta. Mungkin juga benar, apa yang disyairkan oleh para pemetik kesedihan terdahulu, bahwasanya mencinta, ialah tentang bagaimana kau mempertahankan rasa, ketika orang yang kaucinta tak lagi mau menatap ronamu, tak lagi sudih mengucap kalimat syahdu, serta tak lagi mengharapmu mencintainya utuh.

"Tapi, kau belum pernah mencintaiku. Hingga kini, tiada satu pernyataan yang keluar dari bibirmu. Tiada pula ungkapan yang tertuangkan. Namun, mungkinkah aku saja yang tak menyadarinya, jikalau cinta memang tak butuh kata-kata yang nyata?"

Kau terdiam.

“Apakah aku harus mengajarmu mengucap cinta? Adakah kau benar-benar tak mengerti perihal mengungkapkan rasa?” aku kembali merenung, kali ini lebih murung.
***

KINI, barangkali aku seperti boneka kecil yang tak berlesung. Laksana wayang yang tiada berdalang. Atau, sebagaimana sekoci tanpa seorang nahkoda yang mengemudi. Arahku hilang, di mataku hanya tersaput kelam.

"Maukah kau kutuntun perlahan?" ajakmu.

"Ke mana kau akan memapah aku? Tidakkah kita cukup berdiam di sini saja, dan menikmati tenggelamnya senja?" bantahku.

"Kalau itu mampu membuatmu bahagia, baiklah, aku menurut saja. Tapi, tak pernahkah kau menginginkan lain sisi mengisi hidupmu? Tiadakah kau bosan mencintai bayang itu?" kau kembali bertanya, lebih merah dari biasanya.

"Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa aku berpaling, sedang yang kunanti sekian lama ada di depanku secara nyata? Namun, tiada pernah aku sanggup menyentuhnya,” pungkasku sebelum diam.
***

KATAMU, setiap insan hanya butuh semenit untuk menafsir sifat seseorang, hanya perlu sehari untuk menyukai makna kepribadian, serta hanya memakan waktu seminggu untuk mencintainya. Namun, berapa panjang waktu yang tersedia untuk melupakan? Adakah sebulan, setahun, sewindu, atau sepanjang hayat cukup untuk mengubur sebuah kenangan?

Jawabnya tidak, kataku. Kau, takkan pernah bisa melupakan seseorang. Terlagi membuangnya hingga tak terkenali lagi. Sebab, semakin kau berusaha untuk melupa, maka semakin kau mendermanya menjadi sebuah bayang yang nyata.

“Lantas, bagaimana kau melupakan bayang itu?”

“Melupakan siapa?” aku balik bertanya.

“Melupakan bayangnya, yang kaupuja sepanjang hari hingga bulir tangis mengering pada tiap sisi pipi. Yang kaugenggam suaranya dan kausimpan dalam kantong-kantong luka. Dan yang kau harapkan dia datang menjemputmu, membawa warni ungu tulip kesukaanmu. Setelah kau mencintai, akankah kau merelakannya pergi?”

“Entahlah. Mungkin akan tiba saatnya di mana kita harus berhenti mencintai seseorang, bukan karena orang itu berhenti mencintai kita, melainkan karena kita menyadari bahwa orang itu akan lebih berbahagia apabila kita melepasnya pergi,” kali ini diamku sarat keagungan.

Aku tak bergeming. Kau tak bersuara. Sesekali, kau mengusap keningmu yang basah. Kali ini, barangkali diam kita akan menjadi memoria percakapan terindah.
***

KALI ini, aku lebih mengerti tentang bagaimana kisah, yang dahulu merona tapi membiru setelah berjenjang waktu berlalu. Soal lelaki baik yang gemar memberi, tanpa pernah ia berniat memetiknya kembali. Perihal rasa yang dimiliki wanita, namun tak sanggup ia mengungkapkannya.

"Ini era millenium, bolehlah setiap wanita mengucap rasanya terlebih dahulu..." celetukmu ketika kita bercengkrama bersama yang lain.

"Maaf. Ini bukan soal emansipasi. Hanya saja, aku lebih menghargai lelaki, yang menjemput rasanya tanpa perlu memaksa sang wanita terlebih dahulu mengumbar cinta," bisikku dalam hati.

Barangkali, aku masih menunggu lelaki itu datang, dan berkata lantang. Mengatakan jikalau cintanya sunggulah aku seorang. Serta ia, kuharap tak lain adalah kamu, Pangeranku. Dalam jamuan penantianku, izinkan aku diam-diam mencintai bayangmu, yang kutahu, tak pernah kaulukis siluetku dalam anganmu...
(IPM)

Surabaya, Januari 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers