Pucuk Pagi untuk Ratna

August 05, 2012



KETIKA aku dilahirkan, beberapa orang memberiku nama Senja. Entahlah, apakah kisah hidupku nanti akan sejingga langit sore, atau lebih terang apabila bersanding dengan kemilau siang. Tak ada yang tahu, terlagi aku. Maka kubiarkan jemariku berlari menuju tuannya.

“Tuan, aku ingin kauhidangkan sepucuk pagi untuk menghangatkan raga. Bilakah kau berkenan memberinya?”
 

Kemudian Tuan memberiku sepucuk pagi untuk kucicipi. Hangat sekali dalam angan aku berkata. Andai saja setiap hari ia rela membagi bahagianya kepadaku, pasti tiada yang tersisa dalam benak ingin direngkuh. Tuan memang seharusnya tidak menghadirkan pagi kepada kami, agar tak ada yang harus dikasihani.
***

SENJA itu tidak selalu identik dengan feminin ataupun wanita. Aku lelaki. Dan apa yang salah dengan namaku yang kaupanggil sebagai Senja. Tak ada yang mesti dibenarkan atau disalahkan. Sebab apalah arti sebuah nama. Andai saja dahulu kau memberi sebutan lain untuk mawar, ia tetap saja wangi. Lantas, kau merenungi tindakanmu yang sia-sia.

Sudahlah, tak apa. Aku tak marah jikalau kau memanggilku lelaki pengecut. Lelaki yang melankolis serta tak pernah menepati janji. Biarkan saja seluruh sumpah menjadi basi karena tak tertemui. Bukankah lelaki akan bertambah tinggi dengan segala janjinya? Lalu wanita begitu percaya akannya. Aih, seharusnya kau waspada akanku. Sekarang kau sendiri yang masuk dalam ruang kenanganmu.

Setelah masuk, peraturan yang kubuat adalah tak memperbolehkan sesiapa untuk keluar. Namun, kau tak bingung. Karena segalanya masih terang, secemerlang beberapa harapan. Dan mungkin seluruhnya tak pernah dapat lestari, hingga suatu ketika pasti sunyi akan bersambang menggenapi. Kemudian, aku diam-diam pergi. Bagaimana? Masihkah kau tak mengerti?
***

JARUM jam sedingin es saat kau berteriak memintaku ke mari. Ke tempat kau berdiri menanti setan jalanan menghampiri. Sebenarnya aku tak mau datang, tak juga ingin bertandang. Tapi segalanya mengalir bak simfoni lagu kematian, sedih, tapi harus selalu dihadirkan untuk melengkapi. Maka aku merenggut dan membawamu ke kediaman kelamku.

Kau yang ikut bersamaku begitu saja tak menaruh segala curiga. Dasar wanita penurut, mau saja dirayu dengan sejengkal hangat kata-kata. Fragmen wajahmu juga masih segar tanda tak menghadirkan ragu. Kukira aku berhasil mencurimu. Utuh.
***

MALAM ini serta malam-malam berikutnya kau resmi menjadi bagian kenangan kelam. Kau tinggal bersamaku. Bersama tembok-tembok penat, kursi compang-camping, dapur dengan kran yang senantiasa menetes, serta tak sedapnya aliran pembuangan limbah dekat kamar sewaan ini. Mana ungkapan kekesalanmu, Ratna? Curahkan saja! Aku menunggumu marah dan menghadiahkanku gulita.

Dua hari menggenapi. Seminggu menjumpai. Sebulan menepi. Aih, kau sungguh betah berdiam dengan lelaki senja sepertiku. Tidakkah kau, Ratna, melihat jikalau bahagia hanyalah tentang uang dan harta. Tentang tas mewah yang dijinjing di atas siku, baju berbahan kulit hewan buas yang menganga, anting panjang hingga menyentuh halusnya pundak, serta putung rokok mentol merk terkenal di setiap pelipis bibir merah muda. Oh, sebegitu polosnya kau hingga tak tahu apa arti bahagia.

Kemudian, suasana menjadi sepi. Mulut ini tak lagi bicara, tak lagi berkata. Entahlah, hangat dekapmu menjawab semuanya hingga aku tak berkenan bertanya. Huh, wanita kuakui memang pandai membekukan emosi. Siapa yang tak luluh, siapa pula yang betah berlama mengaduh?
***

BERBULAN kau tinggal denganku. Tak ada yang sekiranya mencarimu. Awalnya aku tak menghirau, tak memerhati. Namun, lambat laun aku mulai percaya jikalau kau adalah bidadari. Wanita yang tak lahir dari rahim seorang ibu yang suci. Tak pula berayah yang menghadiahkanmu bekal-bekal untuk menua. Kini kutahu kau sebatang kara, Ratna.

Tak apa, tak usah bersedih. Kau cukup menghenti setiap mimpi agar ketika kau terjatuh, tak terlalu sakit yang diterima ragamu. Karena, sejak aku berdiam di jalanan, aku mulai takut bermimpi. Aku sering merinding apabila harapan datang menghampiri. Bagiku, hidup yakni hari ini. Esok tak penting, sama tidak pentingnya dengan cacian para pemerhati.

Maaf. Aku lupa mengarti jikalau hidup itu dinamis. Tak selamanya analogi dalam prasangka adalah absolut benar. Aku –manusia– terkadang atau lebih dominan salah. Hingga saat kau mengingatkan, aku menjadi diam termenung sendirian. Lama. Sampai-sampai kau tertidur pulas bersama kerutan sprei kelamnya ruangan.
***

KAU mulai menagih beribu janji. Tentang ini dan itu yang aku enggan mengingatnya. Di ujung jalan sana aku mencari secuil kenangan bahagia. Namun, ia telah lama pindah. Malah, sedih serta tangis mengambang di mana-mana. Di selokan yang hitam, dinding-dinding murung, kerak lantai yang lebam, serta selimut tempat tidur yang senantiasa basah karena air mata. Inilah mimpi buruk yang datang di cemerlang siang. Tak salah bila sebelumnya aku takut bicara tentang mimpi. Seperti saat ini, tercekik oleh janji akan mimpi.

Lantas, aku kembali menemui Tuan. Memohon agar sepucuk pagi rela diberi. Saat ini, sepucuk pagi dapat ditukar dengan harta serta mengisahkan bahagia. Maka kuteruskan merintih meminta sepucuk pagi. Kubawa pula kau untuk menghaluskan perkataan Tuan. Seperti kataku dulu: siapa yang tak luluh oleh wanita, siapa pula yang betah berlama mengaduh dengannya?

Tuan tak bergeming. Masih tak menghadiahkan sepucuk pagi kepada kami. Dengan segala jeri payah, akhirnya kami letih meminta. Dengan alibi membahagiakanmu, Tuan begitu saja membawamu lari entah ke mana. Aku yang tak sanggup mencegah, hanya menangis menyesali semua.  Kau menguap, Ratna.

Dalam sepiku kini aku mengerti apa itu arti bahagia. Singkat saja, bahagia adalah cukup: kamu, tanpaku, serta pucuk-pucuk pagi yang lain.
(IPM)

Bandung, Agustus 2012


#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers