Di Bawah Pasupati

July 20, 2012


Tak sabar aku bersambang pada senja dan menunggumu bercerita. Kau di mana?

ENTAHLAH, akhir-akhir ini aku gemar mengunjungi kolong langit Pasupati. Peneduh dengan atap yang tak pernah diam, selalu saja bergerak hingga ketika kau berpaling sedikit darinya, maka hampir pasti kau akan kehilangan susunan atap idamanmu. Peneduh itu berdiri tegak membelah Kota D dengan anggun. Dengan meliuk indah bak berlembar selendang sutera. Sebab saat kau menyusuri tepinya, kelak kau akan menghela napas panjang terlagi lelah sebelum mengharapkan akhir yang sempurna.
 

Di bawah Pasupati, aku senantiasa duduk bersila menghadap jalanan yang diam sesaat ketika warni lampu penghalang menyala. Beberapa memang terhenti, namun di lain sisi, para raja jalanan sedang memacu kuda besinya dengan maksimal. Mereka berlomba ingin tiba di tujuan sesegera. Padahal, waktu sungguh tercipta untuk mencukupkan semua. Tak perlu mencuri jam, menit, atau detik. Karena setelah kaulewati setiap baitnya, tak pernah mereka mengulang datang kepadamu. Lantas, kau lupa mengenangnya.

Dinginnya peneduh ini di akhir bulan Juli sungguh menjadi-jadi. Sebenarnya ada beberapa alasan untuk mengusir hawa tak pantas ini. Bisa saja kau membakar ujung-ujungnya agar kian menyala. Setelahnya pastilah hangat yang tersisa. Atau juga kau dapat melemparkan isu penggusuran beberapa kompleks padat di bawahnya, agar semua menjadi bingung, agar semua panik dan menyuarakan tangis kehangatan. Tapi bukan itu yang ingin kuterka. Sebab aku di sini sedang menunggu datangnya seseorang, dia.

Ialah dia, Kinanti, gadis kolong langit Pasupati yang gemar bercerita. Gadis itu berbusana nuansa putri, berkilau, serta bau wangi yang terkadang hinggap terkadang lenyap. Persis sama dengan aroma parfum merk terkenal. Tiap senja dia datang menghampiriku yang termangu sedari siang menantinya. Kinanti bersambang setelah seharian mencari cukilan emas di tiap sudut Pasupati. Oh, sungguh di awal aku tak percaya tentang cerita emas di Pasupati. Namun, tepat setelah dia mengajakku, aku jadi yakin akannya.

Kinanti tak pernah memberi tahu di mana dia tinggal. Bahkan ketika kutanya dengan nada halus perlahan, dia tetap tak mau menjawab. Tak bergeming sama sekali. Jikalau malam tiba, dia akan terburu berlari menuju kabut yang menyelimuti gulitanya kolong Pasupati. Lantas, bersama kabut itu dia menghilang tak berbekas. Namun, esok hari barang tentu dia akan hadir kembali di sini. Di senja dekat tiang penyangga Pasupati baris ke delapan dekat perempatan. Tepat di depan aku duduk bersila saat ini.
***

AKU mengagumi cara Kinanti bercerita. Aku juga masih mengingat beberapa kisah yang dia bagi kepadaku. Salah satunya, cerita tentang para penua yang duduk merintih kepada para pejalan kaki yang lewat dengan cepat. Penua itu membawa beberapa perlengkapan seperti bungkus permen ukuran jumbo, aluminium berbentuk wadah seukuran lima jemari, atau juga telapak tangan yang selalu menengadah sempurna. Mereka berucap ini dan itu agar dikasihani. Memanggil Tuan-Nyonya kepada para pribumi. Perlahan, kemudian mengencang, lantas memohon paksa agar receh rela dijatuhkan. Lalu, siapa yang tak iba? Siapa yang tega berlari menghindar tanpa menghirau raut mereka?

Entahlah, mereka yang menghalau perhatian para penua akan menyesal beberapa waktu mendatang. Mengapa? Kau lupa? Tidakkah kau ingat perihal orang miskin yang diangkat menjadi kaya di akhir-akhir jaman oleh Tuhan? Kelak, tiada lagi dari sesamamu yang menjadi tak berharta. Seluruhnya rata sama. Bertahta, bermateri, serta tak mau dikasihani. Lalu, bagaimana caramu bederma? Bisakah kau membagi hartamu kepada sesiapa untuk menebus sejengkal pahala? Sayang, kau tak mengerti saat ini, maka kau menutup matamu dan berlari menjauh.
***

SENJA ini Kinanti datang membawa satu cerita lagi. Dalam batin aku berpikir jikalau makin hari, aku makin berwarna akan variasi cerita. Kini dia berkisah tentang pria bercorak wanita kepadaku. Pada awalnya aku gamang menangkap segala analogi kisahnya. Sebab dia tak pernah memakai kata-kata lugas, selalu saja konotasi yang harus dicerna dengan hati-hati jikalau kau ingin mengerti.

Diamlah. Kinanti mulai bercerita. Dia memanggil pria bercorak wanita dengan sebutan Bibipaman. Sebab tak jelas mana yang benar, mana yang sejati. Segalanya sengaja dicampuradukan agar semua bimbang membuat penilaian. Lantas, kau yang tak mengerti benar akan tabiat mereka akan terjebak dalam salah. Sehingga kau memahami sebuah analogi yang keliru dan barang tentu akan kaubawa sampai membiru.

Bibipaman datang ke kolong langit Pasupati tepat ketika petang menjemput datang. Mereka meraih beberapa alat kerja yang tak biasa. Sepatu berhak setengah tinggi, baju permaisuri lengkap dengan rok pendek yang mengangkat, kalung warna-warni, tas jinjing cerah di bahu atau sengaja dijinjing di tangan-tangan kekar mereka yang mencitrakan jatidiri lelaki. Lalu, tak lupa mereka melekatkan riasan di setiap titik wajah agar setiap yang lewat terpikat. Gincu merona di pipi, lipstik merah jambu di bibir, serta maskara atau berbagai aksesoris lain yang aku tak mau menyebutnya. Sungguh, Kinanti berkisah kepadaku tentang itu semua.

Dengan sentuhan suara yang centil menggemaskan, Bibipaman memulai aksi dipayungi kolong Pasupati yang menyala. Mereka bernyanyi secukupnya dari kaca ke kaca dengan harapan receh rela terjamah. Lima ratus, seribu, dua ribu, atau di kesempatan langka lima ribu dapat diperoleh dalah satu periode lampu merah. Bibipaman di sana tidak sendiri, ada juga para toko keliling yang mengangkat dagangannya ke sana ke mari. Seperti pasar saja kolong Pasupati saat malam tiba. Tepat setelah bercerita tentang Bibipaman, Kinanti pergi ke dalam kabut yang telah datang menjemputnya. Dia berlari menujunya dan hilang tak bersisa.
***

AKU tak sabar menanti Kinanti bersua di senja ini. Anganku bertanya-tanya tentang apa yang akan dia ceritakan nanti. Mungkinkah tentang para penua, kaum Bibipaman, atau pedagang yang senantiasa berkeliling di lampu merah? Sungguh aku tak dapat memberi prediksi sama sekali. Lalu, kubiarkan saja pikiran ini melayang hingga Kinanti datang.

Dia datang seperti biasanya, dengan anggun dan terkesan tergesa-gesa. Napasnya belum berangsur normal. Masih terengah-engah.

“Kinanti, kau baik-baik saja?” Tanyaku khawatir.

Dia menjawab tanya dengan senyuman yang mengundang tanda tanya kedua. Sungguh semakin tak wajar saja permaisuriku ini. Namun, aku masih ingin menguak segalanya hingga terang bisa kujamah.

Bibir merah muda itu pun mulai berkisah. Kali ini bertema pemuda-pemudi bebas. Aku tahu kalian bingung menafsirkan maksudnya, maka kuperjelas. Pemuda-pemudi bebas ialah mereka yang menggantungkan hidup kepada jalanan. Mereka bergerombol setiap waktu. Dengan dandanan warna hitam atau abu. Mereka bergerak tak melaju. Duduk, merokok, bernyanyi dengan upah recehan, serta tidur di sembarang tempat. Sungguh, setiap orang yang lewat barangkali akan menghindar daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Padahal, tidak semua dari mereka adalah anarkis. Kalau pun ada itu hanya oknum, bukanlah keseluruhan badan mereka. Di negeri ini, segala sesuatu tak perlu dinilai seluruhnya. Jikalau satu sisi dianggap rusak maka seluruh bagianmu akan tercatat cacat.

Seperti biasa, Kinanti berlari menuju kabut yang datang ketika malam mulai mengembang. Aku hanya melihatnya, tak sanggup mencegah.
***

ESOKNYA, Kinanti datang menebar senyum sempurna. Kepadaku, kepada para penua, kaum Bibipaman, juga yang lain. Aku yang sedari siang menantinya membalas lesung pipi itu dengan kehangatan candaan. Dia tertawa sembari menutup bibirnya agar anggun tetap terjaga. Oh, sungguh cantik sekali permaisuriku. Namun, di senja ini Kinanti tak membagi kisah. Ada apa dengannya? Apakah dia sakit? Ataukah dia menyembunyikan semuanya? Aku mulai bertanya-tanya.

Malam mengembang, kabut penjemput Kinanti pun kian bersambang. Dia pamit dan tergesa berlari. Tak mau kehilangannya, lantas aku mengiringi lari kecil itu. Aku bersamanya menembus kabut kolong Pasupati. Tepat sebelum aku hilang, kutinggalkan diari ini agar kalian mengerti bagaimana kisah sebenarnya di bawah kolong langit Pasupati. Tak usah menghirauku, sebab aku hilang untuk sebuah kebahagiaan. Tak seperti para penipu yang berpura tertawa padahal hati mereka tersayat pedih nun berdarah.
***

SETELAH hari itu, di bawah kolong langit Pasupati tak lagi berkabut. Cemerlang, serta berhiaskan lampu sorot jalan yang kemuning tanda keindahan. Namun, cobalah kaucium perlahan. Ada wangi tak biasa yang tersirat hinggap dan sesaat lenyap: ialah ia, wangi Kinanti, bersama aku, dan hangat kolong langit Pasupati.
(IPM)

Bandung, Juli 2012

#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers