Mencari Sebait Rona

June 30, 2012


Kau lelah? Silakan kau berkisah...

PUSPA masih terdiam, sementara percakapan di telepon semakin membahana menyuarakan kesenyapan. Aku yang di sini menunggu, juga kaku membisu tanpa sepatah kata terlepas menghilangkan belenggu. Rasa yang sesak akan manisnya kisah-kisah terdahulu bersamanya. Bersama dia yang membuatmu bergairah ketika lelah mengejar roda-roda dunia, mengguratkan senyum ketulusan saat mentari tak menyinari secara terang, serta mengaduk semua kebimbangan menjadi satu kepercayaan. Sungguh, Puspa pernah bercerita segalanya kepadaku.
***
 

PITA warna-warni menjadi momentum segala perkenalan kami. Sebenarnya apa itu arti beragam warna? Biru untuk kedamaian. Merah untuk keberanian. Putih untuk ketulusan. Dari mana makna-makna itu berasal juga aku tak mengetahui, tak mengerti. Sebab segalanya hanya simbol dari megah skenario para penyaji. Kami yang pada episode ini hanya diperankan menjadi penerima, tanpa hak untuk membentak mempertanyakan. Kritis. Namun, harus solutif. Ya, berantai kata bernada tinggi pula telah terbiasa dalam hari-hari ini. Aku tetaplah aku dengan segala warnaku. Bagaimana warnamu? Kurasa lebih cerah dibanding aku.
***

SEBELUM aku, barang tentu ada seseorang yang mengerti tentangmu secara utuh. Ialah dia, Ben, yang membawamu terbang melihat harapan-harapan hubungan selama bertahun sebelumnya. Ben jugalah yang menampung semua air matamu saat aku dan kau belum dipertemukan, belum bersua dalam ruangan yang kami buat sendiri untuk membagi berantai memori. Barangkali, lelaki itulah yang menjalankan peran terlagi tokoh pendewasa hingga kau siap untuk dijumpakan dengan yang pantas denganmu kelak.

Namun, itulah romansa. Indah ketika di awal, remang-remang saat sampai di pertengahan, hingga membiru menyisakan sepi pada akhir yang membuatmu bersedih. Sejujurnya, aku tak ingin melihat wajahmu yang murung, maka kutawarkan diri untuk melukis senyum-senyum itu di ronamu, menambahkan ceria pada setiap langkahmu yang indah, serta menggenapkan yang ganjil agar kau kembali mengerti apa arti kata berbagi. Semua kulakukan dengan cuma-cuma, tanpa pamrih atau ongkos penebus yang lain. Sebab, ada gembira di sini. Entahlah, aku mulai gamang berbagi kisah.

Ya. Dalam hidup, ada beberapa kalimat yang bimbang dinyatakan tapi cemerlang ketika kau menuliskan. Beberapa orang justru menghindari karena takut segenap kisah menjadi kian berlari. Namun, kucoba menjelaskan kepadamu tentang berbagai kemungkinan dalam sejengkal usia. Sungguh, akan sangat menyesal bagi seseorang yang tak pernah mencoba sesuatu yang menurutnya tidak mungkin. Sebab ketidakmungkinan adalah untuk mereka yang mempercayai. Dan kegagalan ialah tanda bahwa seseorang telah mencoba, tak terdiam menanti takdir yang senantiasa mencipta.
***

KULIHAT kau, Puspa masih termenung mengguratkan lelah. Aku mengerti segala aktivitasmu di luar sana. Sebagai lelaki, sungguh aku menaruh simpati di setiap lekukmu yang penuh kerja keras. Semua tergambar jelas di balik tutur kata dan perbuatanmu yang menyejukkan. Keramahan, barangkali ialah mahkota yang selalu kaupakai ketika mengenal beberapa teman baru. Teman yang masih abu-abu sehingga harus kaurabah ketulusannya agar tak menyisakan kecewa. Teman yang bisa saja menjadikanmu sama sekali tak berarti, atau yang lain justru akan mengangkatmu sebagai putri dalam sebuah kisah sejati.

Entahlah, aku yang baru mengenalmu tak mampu menjanjikan apa-apa. Kubiarkan saja perbuatanku menjadi cermin kepribadian. Kau yang menilai tentang kecakapan ini. Kau boleh menganggapnya hanya pencitraan sebelum semua busuk terbongkar. Namun, kau juga dibebaskan mencernanya sebagai ketulusan yang dikirimkan untuk menggenapi kisah. Sungguh, itu terserah pada penilaianmu. Sebab yang penting bagiku ialah memiliki seseorang untuk berbagi. Baik  tawa, bahagia, sedih, serta romansa semuanya barangkali akan lebih bermakna bila dinikmati bersama.

“Kau setuju, bukan?” Puspa mengangguk mengiyakan.
***

SETELAH ini, kubiarkan roda waktu memutar sesuai kehendaknya. Dan kualitas kami sungguh akan bergantung dari segala usaha. Makna berantai kalimat harap sebelumnya juga akan sangat sia-sia ketika tak ada rasa untuk senantiasa menjaga. Aku berjanji akan mengubah jalan cerita ini kelak ketika telah pasti segala posisi kami. Mungkin, ketika itu semuanya hanya tinggal haru, atau bisa saja segala kisah akan kian mewangi, hingga harum bunga tak sanggup menyamai.

Puspa, kini masihkah kau lelah? Kuterka wajahmu berubah merona...
(IPM)

Bandung, Juni 2012


#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers