Mogadishu Berhawa Soe

April 21, 2012


Aku adalah angin yang melayang rendah di pelataran tanah merah. Tanah yang menguapkan senja menjadi sejati. Segala terasa melankolis dan sedih di sini. Tak ada air, terlagi rintik hujan. Barangkali, langit telah membenci Mogadishu sehingga tak pernah menurunkan harapan lagi. Menangis pun enggan. Hanya membiarkan tanah coklat memerahkan sesamanya.  Memerah. Merekah. Bergejolak hingga kontak fisik terjadi di mana-mana. Mereka yang mengaku bersaudara tetapi berperang adalah suatu titik klimaks dari hubungan. Bertarung menaklukkan sesama dengan alibi sebuah perebutan. Tidakkah yang mereka cari adalah imaji? Bukankah kemenangan tak lagi berarti? Sayang mereka tak mengerti, tak mengarti.
 

Mungkin, petinggi di sana adalah para pencari kesenjaan. Mereka meronce lekuk tersedih dari senja melalui air mata rakyatnya. Rakyat yang selalu memanggil suara-suara Tuhan kala berdoa, tetapi tetap tak berubah. Terkadang aku ragu apakah lantunan itu sampai ke tempat Tuhan berlagu, atau melesat menuju relung hitam tak bertepi itu.

Sungguh tak perlu berdebat tentang mana yang lebih senja antara Mogadishu dan Soe. Sebab aku pernah merasakan suhu keduanya. Bila kau berkenan, sungguh akan kukisahkan lembaran murung Soe mirip mimik Mogadishu. Dengarlah, tempat di negeriku ini sangat menyentuh. Di sana, matahari tak terbit setiap hari sehingga harapan tak jarang hanya menggantung di tiang-tiang. Tak tinggi, Juga seringkali roboh sebelum terealisasi.

Kami dan mereka hanya berbeda soal peruntungan dan pembentukan. Mungkin mereka berakal, bermata, berhati, dan bertelinga. Namun, tidakkah semua indera mereka dipegang oleh kendali penguasa. Sedang mereka tak sadar, tak mampu menyadarkan. Saat senja tak lagi terbit di kedua tempat, barangkali aku telah mati karena sayap-sayap yang terbakar amarah kerakusan. Amarah insan yang membeda antara baik dan hitam yang kelam. Namun, aku tak pernah menyesal bercerita tentang ini, membagikan kesedihan agar kau merasa. Agar kau menangis merenungi perilakumu yang membiarkan mereka.

Dari kejauhan, tampak hujan turun di tanah keduanya. Bukan bahagia, tapi sunyi yang menghadang ketika aku lelah bercerita. Mungkin semilir angin terakhir takkan ada lagi di sini, di sana. Bersebab mereka malu melihat tuannya yang senantiasa berpeluh seujung usia.  
(IPM)

Bandung, April 2012



#Gambar diunduh dari sini

Followers