Palung Keyakinan

March 23, 2012



DEDAUNAN kering berserakan di halaman sebuah gereja, tak teratur, tak membentuk sebuah pola. Kukira alam sengaja memperlihatkan hal itu pada kita, yang termangu menatap langit senja berlatar warna ungu kenangan. Semakin gelap, semakin kita ingin beranjak pergi meninggalkan kompleks bangunan itu, berlari memburu cahaya mentari ke utara, ke tempat sinarnya terlelap bersama segenap tenaga. Setelahnya, rinai hujan bergemericing turun perlahan membasahi pelataran, gedung-gedung bertingkat, rumah susun, serta kita yang terus berlari hingga lelah tepat menjelma dalam hati.

Aku terhenti di rumahmu, tepat di depannya. Mengantarmu sampai pintu masuk dan memastikan kalaulah perempuanku baik-baik saja hari ini. Maria, nama wanitaku, tinggi semampai, berlekuk putih tak bersayat, memicingkan mata di setiap pagi, serta berambut lurus tergerai sebahu, hitam, bersinar kala kau memintalnya dengan jemarimu secara perlahan. Mungkin hanya itu deskripsi tentang Maria, selebihnya dia adalah kekasih, yang mengerti apa yang dimau tuannya, apa yang dirasa belahan jiwanya. Dia pengertian, selalu bersolek bak permata, menyilaukan mustika hingga aku tak dapat melihat wanita lain di luar sana selain dia.
 

Saat aku bertolak, kembali menuju tempat beristirahat, suara surga berkumandang memanggil para insan yang sudih berinteraksi dengan Tuhannya. Ya. Di era akhir seperti pada masaku kini, surau-surau pastilah sepi tak bertuan, seperti bangunan kosong yang meneriakkan kenangan, sebab terdahulu berbondong insan rajin ke sini, mengadu kepada Penciptanya, memohon agar sebutir emas turun tak terduga di depan rumah, hingga memastikan kalaulah jalan hidup yang dipilih adalah benar adanya.

Namun, sekarang berbeda, jauh tak sama seperti dahulu, banyak replika yang kini tumbuh menyaingi Tuhan, padahal replika-replika itu hanya sebuah penjelmaan yang tidak lebih dari ganjil ujian. Entah itu harta berlimpah, yang nilainya tak sanggup seseorang menghitung dalam setahun, isteri cantik nan sempurna, laksana takkan pernah menjadi renta dan akan selalu kencang menemani hingga kau mati, atau juga anak-anakmu yang dikaruniakan segenap kecerdasan tak masuk akal, hingga kau lupa bahwa sejatinya jabatan itu adalah pinjaman, tak permanen seperti yang selama ini terbayang dalam anganmu. Hartamu bisa saja hilang seketika saat bencana tiba dari selatan tanpa mengundang, atau juga isterimu yang kau junjung di atas kepala tiba-tiba memilih pria lain yang dianggapnya lebih rupawan darimu, atau mungkin anak-anakmu diam-diam selalu mengantongi pisau tajam di sakunya untuk kemudian ditusukkan tepat di uluh jantungmu saat kau tertidur, lelah setelah menimbang harta. Semua tak kau tahu, atau juga tak mau kaumengerti. Sejenak aku mengurungkan niat untuk beranjak, melainkan sejenak bersinggah ke tempat Tuhan berlabuh, memainkan kata meminta Tuhan agar mengijabah keinginan dalam rintihan doa.
***

MINGGU pagi, hari berwarna jingga di pertengahan bulan Desember masih setia menyaksikan kami menunggu satu sama lain di kelokan taman dekat gereja. Kala kau masih beribadah dengan sesungguhmu, aku menantikan kesudahanmu di sini. Sendiri, tapi tak merasa sunyi. Sebab menunggu sebuah kepastian adalah nyata, tidak terlalu menyakitkan, dan selalu berbeda jikalau bukan kau yang di sana. Beberapa saat berselang, kau beranjak datang, membuyarkan lamunanku dengan sejuta pesonamu. Blouse putih bersih dan rambut sebahu yang kau biarkan bebas diterpa angin mensyairkan bagaimana kau adalah pribadi yang sederhana, namun istimewa. Sehingga tak pantas jikalau aku tak memperjuangkan rasa ini. Meski dalam ruang waktu, ada palung yang memisahkan sisi sempurna itu. Aku tak peduli akan semua, terus melangkah menjabat tanganmu, Maria.

Ritual kami di minggu pagi selanjutnya adalah berkunjung ke rumahku. Di sana, kau begitu disambut hangat oleh kedua orang tuaku. Mereka menampilkan senyum terindah ketika kau datang, mempersilakan duduk, dan berbincang layaknya telah lama bersua. Bahkan, adik perempuan terkecil di keluargaku begitu akrab denganmu. Kau memang mudah menyatu dengan anak kecil. Entah bermain atau sekadar belajar membaca alfabet denganmu rasanya membuat adik begitu bersemangat. Semua telah menerimamu seperti keluarga, itu pertanda baik bagi kami, entah untuk mereka.
***

DALAM hal hubungan, tentu bukan tentang satu sisi saja yang mengharuskan sempurna. Perlu timbal balik agar lentera jalinan kasih tetap menyala meski angin senantiasa menghembuskan tekanan untuk mematikan cahaya. Tapi, tekanan itu tidak datang dariku, bukan juga darimu, melainkan berasal dari keluarga besarmu yang tak sanggup menerima kenyataan ini. Tak kuasa menyaksikan putrinya bercinta dengan lelaki lain yang berbeda cara memuja Tuhan. Apakah sepasang manusia haruslah persis sama? Haruskah identik tentang apa saja yang mendasari? Lantas, apakah guna rasa apabila hanya untuk sepetak kaum saja? Kurasa tak ada yang sanggup menjawab berbagai ragu tersebut, hanya berpendapat yang tak ada sesuatu menjamin benar maupun salah.
***

BERGULIRNYA hari, semakin lama, tak kuasa kami membendung segala tekanan yang ada. Aku sebenarnya kuat, tapi aku menyangsikan kau, Maria yang terus bersedih di setiap minggu pagi. Aku masih menunggunya seperti biasa, di tempat biasa, tapi akhir-akhir ini kau memintaku datang terlambat, mungkin karena kau ingin beribadah lebih sungguh dari biasanya, atau juga ada hal lain yang tak kumengerti. Aku menuruti.

Lewat tengah hari, kau bertatap denganku setelah keluar dari pintu gerejamu yang megah. Tak seperti biasa, kau ingin lekas pulang. Terburu-buru. Aku tak menolak ajakan itu, tapi di depan rumahmu, kau berkata lirih. Kau berucap akan meninggalkan ukiran romansa ini dengan alih dijauhkan paksa oleh keluargamu ke luar negeri. Besok siang, kau harus pindah, bertolak menuju tanah anggur beribu kilometer dari sini. Kau menangis tersedu-sedu, juga aku. Namun, sengaja tak kutampakkan di depanmu, sebab aku ingin memberikan senyuman di hari perpisahan kami. Kau meninggalkan aroma tubuhmu padaku untuk terakhir kali lewat sebuah pelukan serta tetes tangisan. Hangat. Tapi aku serasa beku karenanya. Selamat tinggal, Maria.

Kau pergi tepat di akhir tahun ganjil ini. Meninggalkan kenangan bersama hijau memori masa lalu. Aku sudah pernah mengira hal semacam ini akan terjadi, tapi aku sungguh tak menyangka jikalau terlalu cepat dirimu hijrah. Aku terluka, sebagaimana kau di sana hampir pasti lebih tersayat karena kisah. Semoga kau cepat melupakanku dan bertemu pangeran terbaik yang menghormati keluargamu, tak seperti aku. Barangkali itu pintaku yang terucap di senja terahir tahun ini. Jengah, tapi kuharap berbuah nyata.
***

GENAP satu lustrum kau pergi ke sana, kudengar dari sanak keluargamu kalaulah kau telah dipinang oleh lelaki keturunan anak relasi kerja ayahmu tiga tahun lalu, kucitra pula kau telah berbahagia di sana hingga tak ingat apa pun tentang kita. Sempurna. Sebab di sini, aku juga telah melarikan rasaku pada seorang wanita, yang mungkin cukup serasi menjadi ibu dari anak-anakku nanti. Kami juga telah menetapkan tanggal pernikahan kelak. Tapi jauh dalam hati, tetap ada keping wajahmu yang terpatri. Tak apa, sebab wanitaku takkan bisa melihat keping itu, terlalu lihai aku menutupinya dengan kenangan lain yang lebih indah.
***

KAU berkabar jikalau lusa akan kembali ke Indonesia. Kau juga meminta bertemu kembali denganku, kukira aku juga lama ingin bersua denganmu. Mungkin, pertemuan ini tak lebih dari nostalgia sepasang sahabat. Dalam anganku, kau pasti telah memiliki seorang buah hati di sana, aku ingin melihatnya bersamamu, mungkin sangat cantik apabila wanita, atau jika lelaki pastilah gagah sebagaimana ayahnya. Aku tak sabar menantikan lusa.

Minggu pagi datang, aku bersambang, kau telah duduk termangu sendirian di kafe dekat gereja itu. Sendiri? Mengapa kau datang seorang diri? Berbagai tanya terlintas dalam kepala. Aku menyapa. Canggung. Tapi kau mencairkan suasana dengan menanyakan kabarku, aku pun bertanya sebaliknya. Lalu, dari bibirmu terguratlah fakta kalau kau tak jadi menikah tiga tahun lalu. Kau juga masih sendiri saat ini. Masih cantik, laksana lima tahun lalu ketika kita bersama. Aku membeku dalam keramaian, tak mengerti mengapa kisah kita tak pernah serasi, kala kau sendiri, ketahuilah kalau aku hampir pasti akan menikah. Aku tak bisa berkata, selaksa mati suri mendengar kata-katamu yang sarat makna.
 ***

KUINGAT lagi dengan seksama, aku keliru. Aku tak pandai mengeja kenangan bersamamu dulu. Dedaunan tak pernah kering dekat gereja. Rintik hujan juga tak jatuh perlahan saat itu. Tak ada yang pergi ke Paris serta tak ada yang kembali setelahnya.

Maria, sungguh penyesalan kini sejati dalam diriku. Kukira kau telah bahagia. Kukira aku yang meratap mengenang siluetmu bersamanya. Ternyata aku salah, kau yang setia, sementara aku yang kejam mengkhianati rasa. Saat kau mendengar semua deritaku ini, ketahuilah Maria, aku telah menikah...
(IPM)

Bandung, Maret 2012

#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers