FRAGMEN pagi
mengembang, berpasang sejuta rona akan mimpi terang, mimpi tentang sebuah
realita hidup yang mungkin semakin kelam tertelan jingga gelombang. Jingga yang
dalam anganku adalah sebuah ketidakpastian akan warna, apakah berani ataukah
meragu selamanya. Sering kuanalogikan jingga dengan para makhluk yang berjalan
dalam keheningan relung pagi, semakin kutelisik, semakin pula kumenjauh dari
logika semula, tanpa tahu kapan akan bersua.
***
DI tempatku
dulu selalu ada berbagai kisah anomali, ketidakbiasaan. Tentang para wanita
yang berbondong lari tunggang langgang berebut sejumput embun. Mereka datang
bersama, layaknya arak-arakan sebuah perayaan, namun seketika maksud hati
mengikuti, tiba-tiba mereka menguap, seperti asap. Lenyap tak bersisa ditelan
mentari.
Kala waktu,
aku mengintai gerak-gerik para wanita itu, bergerilya, diam tak bersuara
membentuk sejuntai gerakan indah. Dalam pandangku, mereka saling menebar senyum
antar sesama, juga sesekali kepada seorang lain yang disapa. Kuperhatikan,
seksama, mereka selalu membawa sejengkal harap yang terpatri di rona wajah,
sambil memegangi satu cawan perak kecil ke mana-mana. Entah untuk apa cawan
itu, namun dalam terkaku adalah tempat menampung embun yang mereka cari di
dedaunan, batang pohon yang basah, serta rumput hijau di pelataran sejengkal
tanah.
Wanita-wanita
itu datang kala hari belum genap menyuarakan pagi, bersanding mendahului
mentari, serta berperi melawan hawa dingin dalam ragawi. Para ibu juga kurasa
belum terjaga, belum bermata menghidupkan hari dengan cinta dari setiap helah
napasnya. Namun, aku ragu tentang semua deskripsiku. Sempat kukira mereka
adalah bidadari yang berlari dengan alibi takut tertemui sesiapa, tapi sejenak,
mereka nyata dengan segala tanda yang dibawa.
Paras putih
nun ayu, bibir kecil bermerah pudar, kaki jenjang berpoles genap pesona,
ditambah rambut yang tergerai melebihi bahu jelas menggambarkan bagaimana
perawakan para wanita itu, hampir sempurna. Berjalan berjingkat seolah enggan
menapaki tanah yang basah karena gerimis. Sesekali, mereka menoreh setiap jejak
anggun, yang sejalan bertambahnya waktu, susut seketika. Seperti putri saja
mereka.
“Dunia itu
hampir tak tertebak, bukan?” desahku dalam hati.
“Kukira
cerita nenek akan para wanita itu tidaklah nyata, tapi...” lanjutku jengah.
***
SEMINGGU
setelah senja berganti, aku mulai merasa janggal akan dunia ini. Dalam batinku,
hati selalu piawai mengguratkan beribu misteri tentang hidup. Tentang rasa
serta banyak lagi pertanyaan yang manusia sukar mengeja apa jawaban untuk itu
semua. Apa itu cinta? Apa itu perasaan? Apakah penting seorang manusia memiliki
cinta dan perasaan? Apa itu harapan serta apa itu penyesalan? Semua itu adalah
tanda tanya besar. Tak ada suara, terlagi nada.
Hanya
Tuhan-lah yang mengerti apa maksud dari deretan misteri. Aku menerka Tuhan
pasti memberi tahu tentang semua kepada hamba yang telah bersua dengan-Nya.
Mungkin para wanita itu mengenal Tuhan dengan baik sehingga bisa berbincang
tentang berantai makna. Aku ingin bertanya...
***
SENGAJA
kutak mengizinkan mataku terpejam malam itu, bermaksud terus menjaga bayangnya
hingga pagi tiba, hingga pertemuan dengan segala harap dalam raga. Sedetik
beranjak semakin cepat, kurasa embun di luar juga semakin pekat, mereka
sebentar lagi pasti datang. Menunggu, menanti siluet indah yang terbit dari
ujung kota, mematuk setiap dahan basah, serta menadah bertetes embun dalam
cawan wadah. Sebait aku mengamati, sebentar aku mengagumi, singkat waktu aku
mulai mencintai.
***
SEORANG
perempuan berbusana putih di antara yang lain sungguh memesonaku, membuat
bergetar ganjil tubuhku, serta detak hati semakin berdegup tak menentu.
Sepertinya aku salah tingkah, sepertinya ada yang berbeda, hampir pasti aku
mulai jatuh cinta.
Aku sangat
antipati akan rasa ini. Bagiku getar adalah sampah, membuat susah saja.
Terkadang apa guna rasa juga tak seberapa kumengerti, entah karena belum
kutemui atau karena segenap awan setia menutupi secerca arti. Dari sini, aku
mulai berteman perih.
***
GELAP gulita
semakin menambah kelam suasana hati yang terombang-ambing dihempas megah tanda
tanya. Misteri itu tanda tanya, tak pasti apa yang tersembunyi di balik
rintihan sunyi.
“Bukankah
lelaki mencintai misteri? Hingga mereka rela membuang terang untuk berjuang
mendapatkan remang,“ gumamku dalam angan.
Aku tak
mengerti apa yang dipikir oleh kaumku. Sejenak semua menjadi lucu ketika kau
mempertaruhkan waktu untuk ganjil sesuatu. Kau juga tak tahu apa yang
tersembunyi. Bisa saja itu membuatmu bahagia, atau sebaliknya, menumpahkan
deras debit air mata darah.
“Itu risiko,
bukan?” gayamu yang busuk membuatku tak suka, terlalu dominan.
***
SEMAKIN kau
menyimpan misteri, semakin banyak saja lelaki yang ingin mengerti. Dasar
lelaki, aura mereka kejam akan tanda tanya. Selalu saja memburu hingga dapat,
hingga semua rahasia itu tercecer satu per satu. Terkadang, aku tak mengerti
mengapa sifat ini diwarisi. Dilenyapkan rasanya ide yang cukup rupawan.
Sehingga tak ada lagi yang bertanya apa dan mengapa. Hidup seyogyanya terlihat
tentram tanpa kata-kata itu. Kata yang tercipta singkat, namun untuk menjawab,
tak sering seseorang rela berjudi dengan sebongkah martabat.
Sudah
kubilang, lelaki itu pecinta misteri. Apa saja yang kau sembunyikan pasti
mereka kejar. Jikalau gagal, mereka akan terus menyeretmu sampai kelak ajalmu
tak lagi tenang sesuai tanggal. Beringas. Itulah akal, seperti sumur tak
berdasar. Kala kau menimbanya dengan hati-hati, tiada penghabisan yang akan kau
temui. Alih-alih kau terganjal, tersungkur karena bening air mukanya, lalu kau
terjatuh ke dalam sumur itu, tenggelam, dan abadi bersama air yang jika malam
kauamati, airnya berpendar memerah sunyi. Sesepi kau di dalam sumur itu, tak
berteman, sendirian.
***
TUHAN itu
selalu mencipta dua hal yang berlawanan, malam dan siang, maya dan nyata, serta
pecinta dan pembuat. Kali ini kami adalah pecinta, dan kau beserta kaummu-lah
pembuatnya. Kau boleh berbangga hati membuat tanda tanya di sana sini. Di
pertokoan yang remang-remang karena berlilinkan kesedihan, di kota murung yang
saat pagi terus melamun, atau juga di taman-taman topeng yang segenap anak
kecil berlarian menjabat rasa bahagia, sedang ganjil orang yang lain diam
menyulam air mata.
Mereka tak
butuh diseka, diberi sepotong kain putih penghapus luka, atau gurauan semu yang
sejatinya adalah kebohongan belaka. Kaum lelaki penyulam air mata jingganya tak
mengerti tentang sebuah arti pengharapan. Mereka hanya menunggu kelak akan
datang suatu kaum di mana membuat spasi kosong menjadi tak berarti, menggenapi
setiap ganjil memori, serta menjalin serampai bunga keserasian.
***
AKU mewakili
mereka, berkata jikalau kami memuja setiap misteri. Dan misteri itu adanya pada
kalian, wanita, para perempuan penadah embun. Embun itu sejatinya air mata alam.
Kala mereka terberatkan oleh tingkah laku insan, alam tak kuasa menahan gejolak
kesedihan, hingga embun tercipta begitu saja.
Barangkali
jika para perempuan penadah embun mengerti apa arti misteri, mereka pasti akan
bertahan menggenggam itu. Namun, apabila tidak, mereka akan mengumbar misteri
hingga tak bersisa lagi. Mereka tanpa misteri adalah nol, tak berkesan. Dan
kami selalu memburu ketidakpastian...
(IPM)
Surabaya-Bandung,
Januari 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini