Bunga untuk Sesiapa

December 30, 2011



MUSIM penghujan di kotaku kini tak lagi menorehkan rasa, sepertinya hambar. Tak ada dingin, tak jua basah, tetap kering kerontang serta terkadang membawa serpihan masam akan sebuah kenangan. Tentang kita, bersama dalam sebuah nuansa semu yang mungkin tak akan pernah menjadi nyata.

“Karenaku?” tanyamu pada pena itu.

Mengapa kau tak bertanya langsung padaku? Padahal hari masih berganti serta mentari tetap perkasa menerangi bumi. Jawabnya singkat, kau tak mau, tak ingin.
 

Mengenalmu rasanya sebuah sesal terindah dalam hidupku. Kala itu memang kita hanyalah teman biasa. Teman pada masa yang kata orang adalah masa terindah. Namun, tak terlalu indah bagiku, entah bagimu. Awal cerita terkesan biasa saja dan melankolis. Lelaki cengeng melawan wanita perkasa. Itu tema yang kuberi untuk meretas kisah ini.

Aku bercerita denganmu, Kertas. Aku tak memilih seseorang karena aku tak menginginkan segenap pendapat, hanya tempat berbagi yang aku mengerti kapan untuk memulai serta mengakhiri.

Rasanya, beberapa helai tubuh putihmu sanggup menghapus rasa sesak dalam raga ini kala aku menulismu dengan setoreh pena. Kau dan pena memang terkesan serasi meski bentuk serta sifatmu sangatlah berbeda. Kalian saling melengkapi. Tak seperti kami yang selalu tak sama dan tak akan pernah bersama.

Apakah aku terlalu pesimis? Tidak jawabku. Ini logika. Aku lelaki dan ini sifat dasarku sebagai seorang lelaki.

Ya. Bagiku kini kedewasaan adalah suatu hal yang sangat dibutuhkan. Meski memperolehnya itu tidaklah mudah, berusaha menikmati proses dari Tuhan sebagai batang pengarahnya layaknya pantas. Seperti kala aku mendapatimu telah menjadi milik lelaki lain. Sangat berat saat itu aku menerima kenyataan. Apa yang menarik darinya? Apa kelebihannya? Apa?

Aku menghentikan tanya. Mengharap kalimat itu akan dijawab oleh sang waktu kala senja nanti. Namun, hingga hari berganti belum jua kutemui sebuah alibi. Hanya sunyi. Rasaku mati.

Beribu helah napas telah kutorehkan dari atas ranjang lusuh ini setiap malam. Berbalut sejuta angan yang melayang membelah alam mimpi. Lagi dan lagi adalah ilusi tentangmu. Aku juga tak mengira jikalau bayangmu yang dipilih jiwaku untuk datang di setiap sunyi. Aku bahagia bisa menjalinmu meski hanya dalam rintihan maya. Tak apa.
***

SETIAP kuterbangun, aku sadar bahwa itu hanya lamunan. Ketika semua nyata aku hanya meraih sebuah bayang, menghirup sebongkah harapan, serta menyulam secerca naungan. Bersamanya bersemi, tak lama juga akan pergi.

Rasa yang kuat ini mengalahkan beberapa takut yang sempat menghujam dalam pikiran. Mencintaimu adalah sebuah risiko. Membuang waktu dan tak pernah tergapai. Semacam berjudi dengan rasa sakit serta pilu, karena menang atau kalah tetap sedih yang dijamah.

Kau, Tya, begitu istimewa di luar sana. Memesona banyak lelaki dan tetap saja rendah hati. Sering kau berkisah tentang para lelaki yang mengejarmu kepadaku. Karena kau adalah teman baikku, serta aku kaunilai tak banyak tingkah sehingga kau percaya.

“Kau gadis yang periang, anggun, nan jelita. Tak ada alasan bagi lelaki untuk menolak memberimu simpati,” sambutku saat kau bercerita tentang mereka.

“Apa kau juga menaruh simpati kepadaku?” kau balik bertanya. Terdengar jengah.

Aku hanya tersenyum. Kau juga membalas senyum itu. Berbincang lama sepertinya adalah hal terindah kala lampau. Karena dengan begitu, aku bisa menatap matamu yang indah, mendengar suara lembutmu, serta merengkuh deru tawa kecil dari balik bibir merah milikmu.

Kau tak curiga tentangku. Mungkin kau juga tak tahu jikalau bursa persaingan untuk menjadikanmu seorang kekasih bertambah satu orang lagi. Ya, aku, Satrya Sanjaya.

Menjadi wayang nyata memang tak selalu mengguratkan kesan mendalam. Ketika Dalang tak lagi memberikan skenario indah, seberkas tangis dan air mata layak untuk membayar sepi yang dirasa. Sering kumembujuk Dalang dalam sebuah panjatan agar menyatukan kami dalam sebuah kisah romansa. Namun, Dalang hanya membisu. Dia seakan memiliki rencana lain yang lebih indah untuk kami nanti, entah apa. Dalang tak berkata. Hanya diam. Terkadang aku meragu, apakah suaraku yang lantang ini terdengar hingga tempat Dalang berlagu, atau hanya memancar menuju relung panjang tak bertepi itu.
***

SENJA di pelataran taman budaya terlalu melankolis untukku yang termangu menatap lembayung sekat kesendirian, mematung tak bergerak, serta memutus berantai hamparan harap dalam raga karenamu cinta.

“Tya? Kau di mana?” dalam hati kuberteriak. Kencang. Namun, tak seorangpun mendengar jeritan ini. Mungkin hanya Tuhan serta aku, tapi pintaku, kau juga dapat menangkapnya.

Denganmu kuakui adalah perwujudan rasa yang positif. Aku bisa meraih semua yang kekasihmu punya, menyamainya, juga terkadang aku melampaui pencapaian itu. Bukan untukku, tapi untuk kita, kau dan aku dalam seruang nuansa.

Berpeluh di setiap waktu, tak henti kumengejarmu, memburu bayang terindah. Tak kusadari akulah pemeran wayang itu serta kaulah yang mewujud sebagai dalangnya. Mengombang-ambingkan sesuka hati dan meriwayatkan berbagai kisah tanpa tatanan mendasari.

Raga ini tak lelah. Namun, hati? Tak ada yang tahu apa yang dirasa oleh hati. Bukankah cinta itu tak mengenal lelah, melumpuhkan sejengkal logika, melambungkan asa hingga kau tersungkur, bersujud, memohon agar cinta mengasihi, memberi arti, dan menyatukan kami? Itukah sebuah analogi?

Lagi-lagi aku tak sanggup menjawab. Biarlah plot ini sejenak berputar-putar, agar kau bingung, agar aku bingung, agar semua bimbang membuat pengakhiran. Tak penting lagi bagiku apa arti penantian. Semenjak wajah ini tak kau toreh, semua membiru, mengharu, menghujam setiap desah napas akan semua cerita lalu. Bagimu aku tak bermakna, namun kaulah yang menjadikan sisa hidupku berwarna. Memainkan peran yang tak sanggup orang lain jalani, sebenarnya aku juga tak mau menghayati, namun bersamanya luka ini sejati membentuk sayatan perih dalam sempurna resap memori, dari sini suaramu terdengar lirih.
***

AKU terperanjat kala kau membenciku tanpa sebab. Apa salahku? Aku tak tahu. Aku juga tak berbuat apa-apa, hanya mencinta. Apakah haram hukumnya bagi lelaki mencintai wanita, meski wanita itu memiliki lelaki lain yang dicintainya? Tolong jawab, aku butuh jawaban. Ini pertanyaan tentang keadilan dalam rasa, sepertinya undang-undang tak pernah dibuat untuk mengatur ini, tak ada pasal, terlagi ayat. Lantas, apa Satrya salah?

Kali lain mungkin harus bertatap dulu tentang apa maumu serta siapa yang tak kau mau. Agar jelas, agar tak terjadi hal seperti ini: mengasihi bayang yang indah tanpa mengerti kapan  menjelma menuju romansa.

Lantas, apa hadiah darimu untuk seseorang yang telah menunggu lama? Sebuah pelukan? Sebuah ciuman? Atau lambaian tangan tanda perpisahan? Bagiku ketiganya adalah omong kosong, sebab bukan ragamu yang ingin kuraih, tapi sifat serta perilaku yang kukagumi. Tak akan ada guna sepasang mata apabila hati telah merajam setiap cahaya. Tak bermakna lagi sebuah perpisahan jikalau pertemuan selalu menanti di depan. Seperti rembulan yang akan sia-sia bila berpinang di waktu fajar, seyogyanya berganti, saling serasi dalam menemani.
***

HINGGA bersambut alun simfoni, kau tak jua bisa kugenggam. Seperti buih saja, indah saat kau memandangi dari kejauhan, namun ketika kau dekati, kau sentuh buih itu, ia akan pecah karenamu. Barangkali kau menyesal karena itu buih idamanmu, pahlawanmu yang kautakzimkan mengisyarakatkan beribu keindahan. Kau boleh bersedih, seperti aku kini. Tak ada larangan bagi lelaki untuk menangis. Apa guna Tuhan memberikan perasaan? Bukankah perasaan tercipta untuk manusia, tanpa membedakan apakah kau lelaki ataukah wanita?

Bersama angan ini, kau kututup. Terima kasih kau telah memberiku hampa dimensi untuk mengukir setetes arti. Meski tak sampai, aku tak kecewa. Maaf, aku munafik. Bukan lagi ksatria seperti namaku. Menerimamu bersamanya memang tak semudah memberimu seberkas cinta, tapi percayalah, tak ada seseorang yang mampu memberi tanpa menanti segala akan kembali, kecuali mentari. Aku bukan matahari, Tya. Aku adalah bunga yang selalu bersemi kala rasa kasih lahir mewangi di bumi. Saat aku terjatuh, terlepas  dari dahan layu, seseorang mengambilku, bermaksud memberikan aku kepada seseorang lain, kamu.

Sayang, lelaki itu terdiam. Terus memegangi tangkai bungaku, berbisik dalam hati, mengucap semuanya dengan arti. Andai bunga ini menyaksikan pertalian kita yang merona, Tya-Satrya, pasti kelopaknya seketika merah, mengharum sejuta pesona, serta mekar abadi dalam naungan kita. Namun, bunga itu menghitam, terbakar, hangus tak bersisa kala dia menjamahmu di depan jasadku yang mati rasa.

Pantaskah bunga ini untukmu? Mungkin lebih indah untuk sesiapa.
(IPM)

Surabaya, Desember 2011
 #Ilustrasi diunduh dari sini

Followers