Ada Tangan yang Sengaja Mempertemukan Kami

February 22, 2013



Percayalah, ada tangan-tangan yang sengaja mempertemukan kami.

Petang bergelayut, bersiap menerbangkan kelambunya pada langit-langit merah. Burung-burung terbang rendah, mencari setiap celah untuk kembali meraih cahaya. Pada sebuah janji, telah tertuliskan dalam kata dan hendak ditepati sesegera. Aku meraihkan langkahku menujumu. Ke tempat yang kita sandingkan napas-napas merah jambu, sekadar meraibkan seberkas rindu.

Suara panggilan dari Tuhan bergema. Beberapa insan berlari kecil menuju parkit-parkit kayu yang hangat. Menyerahkan diri, memohon sebaris pinta untuk menghapus air mata, serta agar keberkahan tetap berada pada pucuk-pucuk lentera. Kemudian, salam berkumandang. Lantas, berbondong manusia saling berpaling mengerjakan keperluan dunianya lagi. Namun, aku masih merintih. Berdialog dengan Dzat untuk berantai skenario gelisah.
 

“Tuhan, bila ia jodohku maka dekatkanlah. Namun, apabila bukan maka jauhkanlah,” harapku sebelum berjalan ke arahmu.
***

Aku mengenalmu hanya dalam hitungan jemari hari. Tiada pula yang memaksa sebuah perjumpaan ini. Suatu hari, aku datang menawarkan cerita pedih ibukota pada dunia. Dan kau, terkesan memberikan titah untuk menawan segenap kisah.

Lain waktu, aku berkunjung pada halamanmu. Kurasa, kembang api ialah salah satu memori yang takkan terlupa bagi kami. Lewat dentumannya pada pertengahan malam, sanggup mengangkat sesiapa yang diam menjadi lebih mengumbar kata. Dan kau, kucerna merasa bahagia menyambutku, yang sengaja menarik perhatianmu.

Oh, inikah yang dimaksud jatuh cinta? Ketika kau mengalihkan seluruh pandang, dan hanya bersedia memagut ke arahnya. Atau, saat kau tiada bertali menghiraukan sedih, serta berfokus pada kisah-kisah surgawi. Sayang, kau harus tahu, itulah yang sebenarnya kurasakan padamu.
***

Kau merasukkan pertemuan di depan gedung kayu yang megah. Aku duduk sambil mencermati sesiapa yang lewat dengan segera. Kau di mana? Adakah lekukmu tengah hijrah? Aku mencarimu.

Lalu, sekejap mata kau hadir, membawa parasmu yang merona secerlang lautan siang. Tudung biru tua, dipadu dengan gamis berwarna langit membuat pertemuan ini terasa cerah. Oh, kalau kau menyadari, Sayang, sungguh, aku juga memakai warna yang sama untuk setelan kemeja dan celanaku. Seperti inikah yang namanya kebetulan?

Sapaku mengawali pembicaraan, sambil berjalan, menuju relung yang lebih tenang. Dan tanpa kita sadari, cahaya lampu sebuah kedai rela menjadi saksi untuk obrolan malam ini.

Kau tahu, Sayang, ini tidak seperti pertemuan yang lain, yang aku bebas berkicau meramu frasa-frasa indah. Lihatlah, kini aku laksana lelaki canggung yang tiada bisa merangkaikan kata-kata. Darah mengalir deras pada pembuluh, jantung berdegup tak berirama, serta logika, kupastikan telah runtuh entah mengapa. Aih, inilah gambaran lelaki yang tengah dilanda perasaan kasih. Tak khayal, seperti bocah tanpa orang tua mendampingi.
***

“Aku pilihkan menu untukmu, sedang kau, pilihkan menu untukku. Setuju?” ujarmu, ketika katalog makanan tersaji di atas meja.

Aku menganggukkan kepala. Namun, bukanlah perkara gampang untuk menentukan pilihan. Aku takut kau tak suka dengan makanan yang kupilih. Aku khawatir kau juga menelisik menu yang kuraih. Dan kau harus tahu, betapa bingungnya aku saat itu. Diam, tak berkata, sambil membolak-balikkan halaman yang terlukis penuh selera. Oh, pilihan kita akhirnya bertemu pada dua porsi makanan sedang, satu untukmu, yang lain untukku.
***

Rembulan menyapa, tamu berlalu lalang berganti pilihan. Kami masih duduk termangu. Saling mengagumi. Saling memerhati. Oh, barangkali kami juga saling menebar kasih.

Aku bercerita tentang keluargaku yang penuh dengan haru. Dimulai dari masa kecil, pendidikan pertama, sekolah lanjut, ketika Papa pergi menemui Tuhan dengan segera, sampai akhirnya tiba di kursi rotan ini. Aih, kau menyaksi apa yang aku rangkai dengan rapi.

"Oh, kau punya pengalaman yang melimpah ruah. Menakjubkan," katamu, memberi ganjil komentar.

"Maka, maukah kau menjadi salah satu dari rentetan pengalaman itu?" tanyaku, menjengahkan.

Kemudian, kami menggurat kisah sehari-hari. Tentang kegiatan selama di kampus gajah, aktivitas di luar sana, serta berbagai aksi yang tergurat atas kehendak-Nya. Ternyata,  pelangi kalah jauh berwarna, bila dibandingkan dengan asam-manis hidup manusia.
***

Makanan kami datang. Meludahkan rasa untuk siap menyantap sesegera. Tetapi, bukanlah piring-piring berisi yang menjadi penantian kami. Masih ada yang lebih penting daripada memulaskan sepasang lambung kosong. Dan bait-bait kalimatku kembali menyandera selera makanmu.

"Bagaimana dengan jodoh? Adakah dia satu atau berjumlah sebanyak ragu?"

"Tidak tahu. Mungkin jodoh itu hanya satu," ujarmu.

Oh, Sayang, kuterangkan padamu tentang pelajaran mengenai apa yang disebut jodoh. Dalam keyakinan kita, Tuhan telah mengatur hukum mengenai jodoh.

"Kau tahu, wanita yang baik hanya untuk lelaki yang baik, dan sebaliknya?" aku melempar tanya.

Kau mengangguk, "Apa maksudnya?"

Ya, seperti dalam kalimat itu, berpesan jikalau jodoh ialah banyak dan bertingkat-tingkat. Pada satu tingkatan, ada satu jodoh yang sejalan denganmu. Kelak, jodoh itu tiada menunggumu untuk ditemukan. Dan kau, harus setia berusaha menemukan.

Boleh jadi, seseorang yang sekarang kau takzimkan mengisi hidupmu adalah jodoh. Namun, ketika kau tiada menghormatinya, tanpa permisi, jodoh itu bisa saja melambaikan tangan untuk pergi. Karna, Tuhan akan sediakan posisi lain yang lebih pantas untuknya, atau juga kesendirian yang lebih mulia. Oh, bukankah kekasih baik yang tidak dirawat, akan menjadi mantan kekasih yang akan dimuliakan oleh orang lain? Maka, aku berjanji untuk merawatmu, sebagaimana kau, yang bersedia merawatku.
***

"Bagaimana jikalau kita salah memilih seorang jodoh?" kau menakdirkan ragu.

Oh, jodoh bukanlah tercipta dan lantas kita memilihnya dengan sesuka. Tetapi, jodoh ialah bagaimana kau membuat dan menjaganya. Sebab, tidakkah beberapa orang yang pernah mengaku berjodoh tapi akhirnya juga bisa berpisah? Dan mereka dulu tiada menjaga satu sama lain akan jodohnya?

Mungkin benar kalimat Tuhan tentang membenci dan mencintai. Oh, janganlah kau membenci seseorang dengan amat benci, karna suatu saat kau akan mencintainya. Dan janganlah kau mencintai seseorang dengan amat cinta, karna suatu ketika kau akan sangat membencinya. Maka, harapan kami satu: menjalani hari seperti biasanya, membalas senyum tanpa mengharapkan sempurna, serta menghadapi keras dunia dengan tatapan terang, bersama.

Ketika aku bertanya, dan kau menjawab: menerima. Lembar hari, sungguh terasa laksana dibuka sedari awal lagi.

Inilah kisah kami pada penghujung hari. Kalau kalian masih bertanya-tanya, silakan dengar langsung kata-kata yang keluar dari kursi rotan tempat kami bercerita. Untuk kekasihku, Anis, dari lelakimu, Mahatma.

Oh, percayalah, ada tangan-tangan yang sengaja mempertemukan kami. Siapa dia? Tuhan kami.
(IPM)

Bandung, Februari 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers