Melukis Siluet Livia

February 05, 2012



Sesuatu yang menyadarkan bahwa kita pernah memiliki adalah kehilangan...

TAHUN 2009 adalah masa yang Engkau pilih untuk kami bersua, berbincang tentang segala hal yang disebut orang sebagai kisah cinta. Ya, kala itu kami hanya sepasang anak manusia yang buram akan apa makna sebuah rasa. Selayaknya mencari meski tak ada seorang pun menjamin semua akan tertemui, kami terus melakukan hal yang tak dimengerti. Seberkas terasa hambar, namun secerca harap sanggup mengobati dahaga akan arti sepenggal kisah.

“Kupanggil kau, Cantik, jikalau kau mengizinkan...” tawarku padamu yang semakin hari semakin berseri, tanpa sebab. Aku harap karenaku, tapi tak tahu apa yang tersembunyi di balik tirai itu.
 

“Tak perlu. Kau cukup memanggilku Livia saja...” jawabmu singkat tapi sarat akan makna.
***

KIRA-KIRA itu awal perkenalan singkat antara Livia dan aku. Kala itu, mentari sedang berlari dari peraduan, memainkan tempo cahaya yang kian lama semakin pekat akan panas sinarnya. Hari sudah terik. Dengan tergesa, aku berlari menuju satu ruang kelam kenangan.

“Aku benci pencitraan masa lalu...” jeritku dalam hati.

Bagiku, kini kenangan tak lebih dari sebuah gelas kaca kosong, kering, yang di setiap sisi menghayatkan kerak tak bermakna. Dalam masaku, kau adalah penyampai dan akulah penerima sehingga tak perlu perantara bagi kami untuk berjumpa.

Entah mengapa, selalu saja elegi akan rasa, menjelma menjadi beberapa siluet yang akan membayangimu di mana pun kau berlagu. Saat kau ingin sendiri, menyunyikan hati tanpa rela seseorang datang untuk menawarkan syair, bayang mengikuti pelan, menelisik, mengendap hingga kau tak tahu bahwa bayang telah menangkapmu. Kau boleh saja berteriak kencang, memberontak layaknya ikan dalam udara pasang, membuncahkan amarah sampai berapi, sampai semua tenagamu lenyap tak berarti. Tapi kau tak sadar, bahwa senja akan selalu menjadi senja dan siang tak pernah bersinar sama seperti kemarin.

Seharusnya kau sadar itu. Mengerti bahwa harapan adalah perintah untuk meminta lebih kepada Sang Pemilik Cinta. Namun, kau hanya menengadah, membiarkan cerita mengatur jalan berkisahnya sendiri. Kau tak mau mengikuti, apalagi merebut rentetan kisah itu darinya lagi. Dalam alibiku kau yang pasrah, kala hati ini meradang karena tingkahmu, justru kau menghilang bagai bayang di tonggak pelataran pagi. Bersepi dengan pantai tak bertepi yang wanginya seperti mayat saja, menyengat.

“Aku tak suka caramu!” teriakku di tepi sebuah ranah.

Aku mulai mengenal apa itu penghabisan. Kala aku gamang akan kesendirian, inderaku yang lain menguat melemahkan sesamanya. Bagiku itu tak masalah, karena masih terlampau banyak manusia yang bermata tapi tak melihat, bertelinga tapi tak merasa, serta berhati namun tak mengarti. Itukah ciri seorang insan? Ataukah segala raga di dunia hanyalah replika wayang, di mana dalang bebas memainkan sesuka hati, menjatuhkan, menenggelamkan, hingga mematikan dalam keadaan sesadis-sadisnya. Bukankah negeri ini telah menjadi arena kekerasan masal? Di jalanan ramai, di tempat peribadatan, hingga dalam rumah tempat kita berlabuh menukar rasa penat dengan senang yang terikat?
***

LIVIA adalah senja dalam pagi, karena kelabunya memburamkan kacamata ketika mustika tak sanggup melihat pelita surya. Dalam raga mungilnya, tentu, atau sudah pasti Sang Kaisar Cinta menyelipkan kekuatan tak berhingga. Nurani semakin waktu, semakin bertambah peka akan prasangka, seraya tak menentu apakah senja telah berganti pagi atau terus kau ulangi kembali.

Perasaanku akan Livia tentulah bukan kasih yang tak ternoda, barangkali tetes nodalah yang memperbaiki semua sehingga lentera putih menjadi hitam pekat, seyogyanya sampai kau tak bisa membedakan mana yang suci serta fragmen lain adalah keji yang sejati.

Cinta itu omong kosong, bukan? Tak ada yang lebih munafik dari rasa, karena ia tak tampak pada permukaan, melainkan bersembunyi di balik raga yang berlumur berjuta dusta. Di atas raga, seseorang adalah aksen-aksen yang tak masuk akal. Menjabat seolah-olah raja namun tak ada yang mengira kalaulah anjing penjelmaanya. Aku mulai jijik dengan analogi murahan macam itu, tak perlu.
***

BERCERITA tentang masa lalu tentulah mau-tak-mau akan kubuka lembar-lembar senja tak berpelagi itu. Berpacu melawan rasa sesak serta perih karena tak ada lagi sebutir obat untuk nurani. Selalu saja, aku berkasih dengan gerombolan kaum penyuka kesedihan. Kelompok yang mengantongi air mata dan menyulamnya menjadi selendang-selendang tipis, transparan yang mengindikasi sifat kesedihan. Air mata itu simbol kelembutan karena lepas tanpa terberatkan oleh angan semu. Seakan juga tak menentu hingga waktu akan menuntut mengejarmu.

Saat kering, air mata adalah kerak-kerak suci yang sering kautemui di pelataran. Kau mengira itu debu, sehingga tak sadar kausapu mereka sampai lenyap tak berbekas. Padahal, ketahuilah, merekalah yang meringankan kesedihan, mereka rela lepas dari naungan demi kau, demi perluasan bidang sesakmu. Namun, itulah mereka, setetes air mata.
***

LIVIA kuyakini masih tertidur hingga kini di suatu tempat, hibernasi karena lelah akan kejam persoalan kisah. Mungkin juga dia sedang bermimpi, saking indahnya sampai tak ingin terjaga lagi. Kalau bisa memilih, aku lebih mencintai jalan yang tak nyata. Jalan yang tak ada seorangpun mengerti arahnya, ke mana saja sama, tak ada salah maupun benar. Semua adalah ragu, abu-abu.

Besok malam Livia pasti terbangun. Dia akan membuka mata ketika hari kematiannya tiba. Dia juga barangkali terenyak saat tahu betapa lama dunia ini telah berlayar tanpa nahkoda. Menerjang ombak tanpa tahu koordinat berlabuh, terus melaju hingga habis masa perdebatan itu. Namun, penghabisan adalah sejati, tak ada yang sanggup untuk menghenti.
***

KAU telah siuman, terbangun setelah bertahun hidup selaksa mati. Kau bingung, kau mencari-cari sesuatu. Gincu merah di bibirmu telah tiada, menguap bersama udara yang mungkin meminta upah karena kau selama ini menggunakannya dengan sesuka. Rambutmu yang hitam lebat juga kini usang tak berpendar, semacam ijuk saja dari kejauhan, tak ada bekas hitam sama sekali, semua memutih. Kulitmu yang langsat laksana sinar rembulan sudah lama kukira tak bercahaya lagi, barangkali rembulan itu telah pindah ke kulit yang lain, yang lebih pantas dia singgahi. Inikah, Livia?

Kuperhatikan dari dekat, tak ada yang sama akanmu. Aku mulai ragu akan apa itu cinta. Saat kau dulu memesona, pastilah semua berkata bahwa itu cinta. Namun, setelah berubah, cinta tak lagi meminta untuk singgah. Tak ada yang statis dari cinta. Kau boleh berbangga tentang kemolekan wajah, lekukan, atau raga yang kaupunya. Tapi, tidakkah semua yang kaubanggakan adalah abadi? Tidakkah kau sadar bahwa suatu saat semua akan pergi? Saat kau mengerti, kau ingin kembali, memulihkan segala yang salah, tapi kau telah mati.
***

AKU melukismu dengan satu warna. Hitam. Tanpa putih atau merah bata yang lain. Aku suka pelangi tapi tidak untukmu lagi. Kau mungkin memang berwarna melebihi pancaran pelangi, namun telah tak beraga. Sebab itu pula, aku mulai terbiasa mencintai siluetmu, tak lagi menjamah hangat warna senyum manismu. Aku berjanji akan memberikan karya ini padamu. Setelah kau menyaksinya, pasti kau tertegun tentang betapa kelamnya kau di mataku.
(IPM)

Bandung, Februari 2012

Followers