P U L A N G

March 10, 2016




. 
Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, dua hari lalu dia bergegas pulang ke rumah. Kembali ke kota kelahiran dari perantauan panjang di negeri orang selama bergenap bulan.

Dia masih saja bersikeras, meskipun beberapa rekan sempat bertanya, “Santai-santai dululah di sini, menikmati hari.” Namun, tekadnya sudah bulat, dia ingin pulang.

Makna pulang ialah kembali, dari suatu jarak yang memisahkan membentuk sebuah elegi. Sebagaimana kamu, dia juga merasakan rindu. Rasa ingin bertemu untuk menguapkan segala kekhawatiran.

Dia rindu pada suasana di sana, yang sedari pagi sudah terik, siang berkeringat, dan sore hingga malam yang tak teduh. Dia kangen pada situasi di sana, rumah tetangga yang berdekatan, anak kecil ingusan berlarian, warung nasi yang tak pernah tutup, serta paving block warna-warni yang tertata rapi di sepanjang jalanan.

Teramat berat kepalanya menahan rasa ingin jumpa. Malam di kereta, dia selalu memandang ke arah luar jendela, yang gelap gulita, yang sepi tak bertepi, serta yang diam-diam dari kacanya memantulkan bayangan wajahnya sendiri.

Mengapa lama sekali jarum jam berdetak di dalam kereta ini? Dia mulai tak sabar.


Kamu pasti akan mengerti bila waktu terasa begitu melambat ketika pertemuan ingin segera dituntaskan. Kamu pun juga akan memahami, tujuan terbesar setiap insan setelah berpetualang menaklukkan dunia ialah satu: pulang ke rumah dalam keadaan damai.

Dia pun sama sepertimu. Bergenap bulan lalu, di Bumi Parahyangan, pikirannya sering melayang entah ke mana. Terbang ke memoria lama, tentang kelahirannya, perihal bagaimana dia dibesarkan oleh sepasang tangan yang kuat tetapi lembut penuh sayang, hingga momen ketika dia harus keluar, meninggalkan rumah untuk menggambar garis tangannya sendiri.

Perkataan ayahnya benar, “Merantaulah. Kalau kamu ingin jadi lelaki, keluarlah dari rumah.” Dia masih hapal jelas bagaimana intonasi lelaki paruh baya itu ketika melantangkan dialog. Dia juga masih jelas terbayang akan air muka yang dipasang ayahnya saat memberi pelajaran hidup. Dia pun masih ingat, tahun ini, adalah tahun ke sembilan semenjak ayahnya pergi dipanggil Sang Pemilik Hidup.

Dia harus pulang.

Dini hari di kereta merupakan jam riskan untuk berangan macam-macam. Dari diri sendiri, teman duduk sebangku, orang di kursi samping, hingga petugas yang berlalu lalang menawarkan sajian tengah malam dia amati. Sangat teliti. Terlampau detil.

Bagaimana rekan satu tempat duduknya yang gelisah ketika memejam, entah tak ingin menyegerakan esok, atau ada beberapa kenangan yang tertinggal, dia perhatikan tapi tidak mengerti. Bagaimana posisi terhuyung pelayan kereta ketika berjalan, entah bersebab sedang sakit, atau merasa putus asa sebab kepala memerintahkannya bekerja di malam buta. Hingga, bagaimana ada seekor kupu-kupu yang hinggap di langit-langit gerbong, sedari berangkat sampai kini tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya.

Dia mencatat semuanya, untuk diceritakan padaku kini.

Dari sekian banyak kisahnya, satu episode terpanjang yang dia curahkan ialah tentang wanita perkasa bernama Ibu. Kutuliskan Ibu, meski sebenarnya dia memanggil dengan sebutan lain: Mama. Apalah arti sebuah nama, jikalau dulu kau namakan mawar dengan panggilan lain, ia tetap saja wangi.


“Kalau aku sampai bisa berada di titik ini sekarang, itu bukan karena aku hebat. Bukan sama sekali. Itu semua karena satu, doa dari Ibuku,” katanya.

Di awal, entahlah, aku merasa dia cukup berlebihan menyanjung kehebatan ibunya. Seakan-akan ibunya sungguh sempurna. Selaksa ibunya itu tanpa kurang atau alpha. Ibarat tak ada seorang wanita lain yang dia cinta, melebihi cintanya kepada ibunya.

Aku yang suka bercanda, tentu menggodanya dengan pertanyaan macam, “Lebih cinta mana, kepada Ibumu, atau kepada kekasihmu?” Dengan enteng dia menjawab ala kadarnya, “Ya ke Ibu lah, retoris sekali.”


Kemudian, sembari menghabiskan kudapan sebagai imbalan karena telah membantu memberikan surprise untuk ulang tahun Ibunya, di teras rumahnya, aku dan dia bercakap lagi. Namun, di akhir cerita, aku sadar bahwa seluruh perkataannya benar.

Selesai pertemuan itu, aku ingin menelepon Ibu, ingin mengungkapkan rasa rindu. Minggu depan, seperti dia, aku ingin pulang.
___

Sengaja aku menuliskan lengkap kisahnya kepadamu. Bila kamu bertanya, “Siapakah dia?” Maaf, aku tak bisa memberi tahu namanya. Yang jelas, hari ini dia tengah berbahagia, merayakan kebersamaan bersama Adik dan Ibunya yang tengah bertambah usia, di rumah.
(IPM)

Surabaya, 2015

#Ilustrasi diunduh dari satu, dua, tiga, empat 

Followers