Teman Delapan Jam

January 01, 2014




Tas ransel merah strip putih. Celana skinny jeans merk terkenal berbalut biru laut. Kaos polos berlengan tanggung karena tidak pendek, tapi juga tidak panjang. Dipadu jaket katun tosca pucat bertuliskan "C-A-M-B-R-I-D-G-E" yang hangat. Membungkus sosok yang menemaniku sekurang-kurangnya delapan jam perjalanan.

Siapakah sosok itu?


Ialah dia, yang hitam rambutnya lebat mengarah ke sandaran kursi. Tentu, sesekali dia merapikan tatanannya agar tetap cantik. Lalu, rias wajahnya, yang terhalangi poni lurus itu, terkadang dia saput perlahan. Sangat halus. Aku perhati, dan tibalah aku menyaksi bahwa dia memang menarik.

Dia jelita. Tak bernoda. Putih. Mengilat.

Sekelebat waktu, kereta malam kami menyepi hingga kantuknya kian merajai. Dia mulai memejam, sedang bangku kami ditakdirkan berhadapan. Sekurang-kurangnya berjarak satu meter untuk dapat sedekat mungkin dengan dia.

Selamat tidur, Cantik. Sudahkah kau memesan mimpi? bisikku padanya, yang hanyut terbawa hawa dingin malam.

Dia melipat kelopaknya. Membuat genap bulu matanya menguncup, tak menyisakan cahaya untuk menangkap binarku masuk. Namun, aku terjaga. Kian bermata, melucuti ronanya.

Sedari tadi aku mencuri waktu, hanya untuk memperoleh perhatiannya. Kalau pun tak dapat, bolehlah senyumnya seberkas saja terangkat. Oh, aku ingin sekali melihatnya!
***

Tujuan nona manis itu ialah Kota D. Tempatku merajut mimpi menjadi pribadi dewasa. Di sudut kota itu, aku giat memperbaiki nasib yang layaknya kian terombang-ambing oleh keadaan.

Kubercerita kepadanya tentang singkat kisahku. Sedikit saja. Sebab, kita masihlah memakai topeng masing-masing, yang ingin agar dianggap sempurna.

Siapa namanya?

Sudahlah, aku tak membutuhkan secarik nama, atau sekadar identitas tambahan. Cukuplah asal daerah, studi di mana, mengambil jurusan apa, dan hendak turun di stasiun mana. Ya, tak ada lagi yang akan digali. Dan kita, juga barang tentu tak ingin bertemu lagi.

Dia masih tertidur. Pulas. Sedang aku tengah larut dalam lembar demi lembar Angsa-angsa Ketapang. Buku kumpulan sajak karya penulis muda yang kesepian. Atau, lebih tepatnya menyepi. Atau, sangat tepat bila dikatakan dia sengaja meraih sunyi, untuk selalu menulis lagi. Dalam halaman awal, tentu akan dikisahkannya mengenai elegi. Namun, aku tak merasakannya. Entahlah, mungkin kontras suasana mengarah penyebabnya.
***

Gadis jelita itu terbangun, oleh hentakan kereta saat hendak melenggang kembali. Masinis, sepertinya tengah memikirkan hal lain, hingga begitu keras menarik kemudi.

Matanya berkedip-kedip, menyaksiku, yang masih kian bermata. Sejenak, arah tatapnya terbuang jauh di pelupuk jendela. Akan tetapi, hanya bayangnya yang dipantulkan.

“Di luar begitu gelap, tidurlah lagi. Perjalanan masih panjang...” ujarku.

“Apa yang kau baca? Sepertinya menarik,” balasmu, mencari lain topik.

“Sastra. Jenis sajak, cerita pendek, juga kadang puisi. Kau suka membaca?” percakapan kami memanjang, di antara kantuk dan kesunyian kereta malam yang melaju kencang.

Arlojiku menunjukkan pukul sebelas malam. Sepertinya, di gerbong tiga kereta ini tinggal kami berdua yang terjaga. Lain mata, masih menyesap mimpi bersama hawa sejuk kereta. Aih, sepertinya aku tak perlu bermimpi malam ini, sahutku.

“Mengapa? Kau tak ingin tidur?” sapanya, sedikit merasa heran.

“Tidak, aku ingin menulis setelah ini. Menulis mimpi.”

“Apa yang ingin kau tulis?”

Aku diam, tak menjawab tanya itu. Hanya saja, dia mengerti apa yang kumaksud. Dia tersenyum tipis. Geligi putihnya menguap, dan kembali pandangan dia hanya tertuju pada mataku.

“Kau, tak perlu memandangku seperti itu. Jika tulisanku telah selesai, akan aku tunjukkan padamu tentang apa mimpiku, yang kutulis sepanjang malam nanti. Sabarlah...”

“Aku tidak sabar menantinya. Cepatlah.”

Lantas, dia mencicip playlist di pemutar lagunya. Sebenarnya, kami bisa saja duduk berdampingan, sebab bangku sepasang yang seharusnya terisi kian tak berpenghuni. Bangkumu, dan bangkuku, hanya terisi tas dan buku. Tapi, tak sanggup lisan ini berucap untuk mengajakmu meringkuk di sisiku. Aku malu...
***

Jam di ponselmu memutar digital angkanya dengan pasti. Angka dua lewat tiga puluh tepat. Aku memandangi pandangnya. Cukup lama. Dia, masih melukis kosong pemandangan luar dengan mata. Dan barangkali, bersebab seperti diawasi, dia mulai berubah fokus, menatapku balik.

Kau sudah selesai?

Anggukanku tersalurkan. Dengan sigap, dia berpindah ke bangku kiriku yang berdiam buku-buku bacaan. Dia meletakkan beberapa buku di pangkuan. Oh, sejenak aku iri dengan buku bacaanku sendiri.
***

Kepalanya, atau barangkali juga lebat rambutnya ringsek ke bahuku. Layar notebook keluaran 2012 ini fokus perhatiannya sekarang, berisi mimpi yang sedari tadi kuketikkan. Dia begitu manja, setelah kutahu dia merengek memintaku membacakan karya itu untuknya.

Aku mulai berkisah. Dengan nada pelan, setengah berbisik.

Dia menikmati, akan tetapi introdaksi atau pembuka karyaku ini begitu panjang. Hingga dia hanyut ke dalam ruang yang sengaja aku lebarkan.

Mimpiku dalam karya yakni bertemu seseorang. Wanita. Berparas ayu, bergelimang perhatian. Wanita itu menarik duniaku. Aku membuatkannya cerita. Dia suka. Dan kini dia duduk berdua denganku di sisa perjalanan kereta.

“Ceritamu tak asing. Kau tidak sedang menulis mimpimu. Kau menulis aku...”

Aku mematung, menghela napas.

“Tapi mengapa?” tanyamu, dengan suara lembut.

Aku tak punya alasan. Aku hanya tak ingin bermimpi malam ini. Karenamu. Aku... aku tertarik padamu.

Dia tak bersikap berbeda. Bahkan, wanita berjaket tosca itu tetap duduk di sampingku. Hanya saja, kami saling membisu.
***

Stasiun Kota D segera membumi. Waktuku, waktunya, untuk berkemas saling melepaskan. Aku, akan menuju jalur lain yang harus ditempuh. Begitu juga lajurnya, yang kian berbeda.

Roda besi berhenti. Ucapan canggung, pertanda 'selamat jalan dan sampai bertemu lagi' tertunaikan. Dia membalas senyum, tapi kian menggantung.
***

Bah, satu lagi kisah tertuang dalam lembar lamanku kini. Kuberi judul: Teman Delapan Jam.

Maaf, sengaja aku namai cerita ini dengan dusta. Sejujurnya, dia tak berteman denganku dalam interval itu. Kami berbincang lebih lama. Sangat lama. Bahkan, beberapa hari setelahnya. Atau berbulan. Atau hingga saat ini.

Tiara menghubungi ponselku. Kami bertemu di kafetaria. Dia mengenakan baju vintage krem bermotif bunga-bunga. Dia ingin membaca lagi karyaku tentangnya. Dia jatuh cinta pada kumpulan frasa itu. Lebih parah, dia jatuh hati juga pada penulisnya. Dia meringkuk di genggaman, sedang malam kian mengejang. Di sudut ruangan, lirik Shania Twain melantun pelan. Kau tak memberi ruang, semakin erat merapatkan diri dalam dekapan.
(IPM)

Surabaya, Januari 2014

Followers