Surga yang Tercicip Perlahan

July 11, 2012

 

Nura, apakah kau baik di sana? Bagaimana kabarmu? Rambutmu, masihkah hitam?

KUKISAHKAN pada kalian tentang permaisuri alam yang mewangi. Perempuan dengan segala keindahan di balik lembutnya siluet. Sepasang mata pula bercahaya kala dia menatapmu memberi secerca perhatian. Sesekali, cobalah balas kaupandang dia dengan perlahan. Lihatlah lekuknya yang menawan. Sambanglah senyumnya yang menghangatkan kala kau merasa sendiri kesepian. Kubisikkan beberapa patah kata perjumpaan dengan hati-hati. Dengan sepenuh jiwa yang membuncah tak karuan menahan sempurna kegugupan. Dia menoleh sembari menegak napasku yang terisi suara kerinduan.

“Nura, ini aku. Damar,” bisikku.
 

Nura tak mendengar, tak pula menghirau tanda memerhati. Mungkin dalam angannya, dia sedang sibuk menyulam lembaran kisah untuk disudahkan dalam kenyataan. Kisah yang melankolis serta mendayu-dayu milik seorang wanita peragu. Namun, kisah barangkali memang dibutuhkan ketika kau akan mengarungi sebuah mimpi besar. Biarkan kisahmu yang menuntun ke arah mana engkau akan melangkah, mengawas apa-apa yang ingin kaukejar, serta memikatmu agar selalu kian sempurna. Boleh jadi kisahmulah yang menjadi malaikat penjaga kala kau lupa dengan segala jerih payah, juga dengan bayangan pangeran yang senantiasa hadir di setiap pelupuk mata.  Tak kutahu ternyata Nura ingin bersua.
***

BERANJAK dari kisah keraguan Nura, kini kalian harus melihat tentang apa-apa yang tak sanggup tergurat. Lepaskan segala bebanmu untuk mengerti mengapa Nura meragu. Sebenarnya dia tak melepas mahkotanya untuk kemudian ditukar dengan sejuntai kain penghalang mata. Tak ada maksud tak terpuji yang tersirat di sana. Nura tulus bercerita kepadaku tepat ketika aku membuka sebuah romansa. Malang sekali nasib kalian, sebab tak menyaksi seluruh kronologi yang terjadi. Barang tentu justru kalian menganggap Nura melakukan ini dan itu. Namun, sungguh tidak benar jawabku.

Di mataku, Nura tak lebih dari seorang wanita penyeka kelembutan. Tangkap saja tawanya yang renyah hingga membuatmu tak sanggup melupa. Silakan cerna setiap tutur kata yang memberimu sejengkal memoria. Atau jikalau kau masih meragu kuperbolehkan kau bertanya kepadanya dengan sesuka, niscaya Nura akan menjawabnya dengan terbuka, dengan seluruh frasa yang membawamu mengerti akan arti spasi nurani.

Oh, kusaksikan wajah kalian berubah merah. Malu. Lebih tepatnya kalian tersapu oleh tingkah laku Nura yang anggun. Bahkan saat hendak terlelap, Nura akan terlebih dahulu merenung tentang kisah yang telah terjadi di setiap ufuk hari. Hari ketika dia terjaga, melaju, serta berlomba dengan rentetan waktu hingga tersungkur melepas lelah di ranjangnya yang penuh kerutan. Coba kautangkap, sungguh sempurna, bukan?
***

SELAMA berhari-hari Nura gamang akan sebuah tindakan. Dia bimbang memilih menjalankan kisah terdahulu seperti biasa, ataukah mensketsa cerita baru dengan tampilan berbeda. Namun, Nura adalah tetap Nura. Masih seorang wanita yang menawan ketika tersenyum, segar saat tertawa tersipu, serta sempurna sewaktu ia memilih menggunakan secerca kain penghalang mata. Sungguh, kulihat Nura sangat bercahaya dengan sempurna setelan gaya terbaru. Namun, hidup memang tidaklah mensyairkan manis seluruhnya. Beberapa beralibi jikalau Nura hanya menebar sensasi, menaksirkan muka agar terkesan religi, serta membisik bualan cerita yang tak sanggup dipeluk bukti.

Tapi bukan Nura namanya jikalau hanya mendengar segala cacian. Sebab telinga kadangkala memang harus ditutup untuk setiap teriakan tak pantas, atau pula gunjingan yang menghadirkan perpecahan. Nura membiarkan mereka berkata sesuka hati. Namun, diam adalah bukan sama sekali emas. Sebab dalam diam haruslah diiringi dengan tindakan. Dalam hal ini, Nura memilih menjawab cercaan dengan memadukan perilaku terpuji khas wanita. Mengganggunkan diri dengan tetap ramah menyapa, mendekatkan pendengaran dengan lawan bicara, serta menghargai mereka yang menanyakan elegi sepenggal kisah. Tidakkah mereka lelah membenci Nura? Mungkin saja benar jawabnya.
***

LAMBAT laun, segala pendengki menguap menjadi butiran senja yang tak lagi terlihat. Nyanyian sumbang mereka juga tak pernah tertangkap hinggap di antara daun telinga. Semuanya kini tinggal cerita yang telah berbingkai bahagia. Setiap kali Nura mengingatnya, sungguh sempurna apabila seluruh bincang dijadikan kompilasi pelajaran. Sebab ini nyata, dan Nura benar-benar mengalaminya.

Saat ini surga barangkali telah tercicip perlahan dalam cermin kesehariannya. Dengan kain penutup mata, dia, Nura laksana amat sempurna sebagai seorang wanita. Lantas, siapa yang rela mengganggunya, siapa pula yang tega merenggutnya? Kurasa tiada, sebab semua pelindung kekejaman telah dia kenakan dengan anggun. Dan mungkin, setelah ini, perangainya akan kian mewangi, hingga kesturi tak sanggup menyaingi.

Nura, sungguh kau dan kain penutup mata adalah pasangan yang sempurna. Tepat ketika melihatmu, harum surga perlahan mendekat, memikat, hingga merasuk dalam penglihatan yang kian pekat. Kukira kini aku telah menemukan kabar baikmu di sana. Kabar yang putih, yang membuatmu layak disebut wanita sejati...
(IPM)

Bandung, Juli 2012

#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers