Tepi Sebuah Surat

May 10, 2012


Aku adalah Tulisan.

Senja kali ini seharusnya dieja dengan seksama. Dengan hati-hati agar merahnya semerbak di tengah, tidak terurai ke lain sisi yang mengisahkan kesedihan. Perlahan menghampiri, titik demi titik lekuknya. Kusurutkan menyerupai senyuman guna memudarkan isak pelan yang memanggut harapan tak sampai. Harap yang mengenang seorang prameswari bersama sekian halaman kesenjangan.

Kutitipkan nada ini bersama lentik jemarimu. Genggamlah erat sekuat nadimu. Sedaya otot-ototmu yang mengindahkan. Dalam sepi, kau yang kuagungkan. Kungiangkan bak mengejar rantai alunan lagu. Lagu yang sajak serta rimanya adalah sumbang, senantiasa tak sama. Terkadang berakhir konsonan, tapi lebih banyak terhenti oleh vokal kesenyapan.
 

Ini bukan siratan untuk memanggil suratan. Barangkali juga bukan kumpulan metafora yang mengindikasi melankolis kisah. Ini nyata. Sebab dia yang kuceritakan ada di dekatku. Tepat di sampingku sedemikian waktu. Berkali kucerna dengan hati, kau tetap menjadi satu titik perhentian. Belum melaju. Belum berlalu. Terhenti. Seakan kaki tak sanggup melangkah meninggalkan hari.

Kunyatakan kerinduan ini dengan menyebut namanya perlahan. “Dya...Dya...,” bisikku. Pelan sekali hembusan sapaku memanggil asmanya. Bersebab dia yang kusanjung adalah wanita perasa kelembutan. Simbol yang ditakdirkan Tuhan untuk menghadirkan romansa sejuk di alam dunia. Semakin senja, perempuanku semakin bertambah putih. Aku juga heran sebenarnya. Terlagi mentari kian berlari menuju tempatnya memejam. Kukelamkan naungannya dalam rinai mustika. Namun, dia tetaplah bercahaya. Entah dalam alibiku saja, atau yang lain menyaksikan sama.

Lembar pertama dalam dimensiku adalah abu-abu. Keraguan. Sepotong berisi ungkapan tak logis bernama mimpi. Mimpi yang senantiasa kucipta agar hidup lebih ringan dibawa. Dalam petikan-petikan mimpi, tak jarang aku menulis semua permintaan, seluruh pengharapan yang pesimis kuraih dalam kenyataan.

Adakah yang tak mungkin terjadi di dunia? Jawabku singkat. Segalanya mungkin atau barangkali tidak mungkin adalah relatif. Sebab di sini, hukum tarik-menarik sejatinya sangat kuat. Ada alam serta diri kita yang bergetar memeluk energi. Apabila kita memantik harap dengan sungguh, boleh jadi Tuhan mengizinkan alam memberi itu. Namun, keraguan sejatinya mematri setiap probabilitas. Kala aku menakzimmu memelihara perasaan ini, keraguan datang mengobrak-abrikan suasana. Aku tak lagi bisa melihat jernih, semua nyata gulita sepi.

Becermin pada kenyataan kemarin tentang elegi rasa. Barangkali pertemuan setidaknya tak bisa mengerti apa arti segala kisah. Semenjak Dya kutakdirkan mengisi pucuk-pucuk daun asmara hati, seluruhnya memerah muda. Mensyairkan kesembuhan abadi bagi hati yang bertahun gelisah karena tak termiliki. Kukira Dya mampu menjadi sandaran lelah ketika dunia melonjak tak seperti biasa. Di sini, fluktuasi sejatinya berlangsung setiap hari. Apabila kau lupa berpegang, bisa saja esok, dirimu tak mampu lagi terkenang. Mati tertelan mulut waktu yang menganga meminta tumbal.

Lewat goresan ini, aku mengharap kau bisa mengerti. Memahami jikalau rasaku adalah sejati. Ketika malam mengembang, ingatlah, aku akan tetap terbaring mengenang. Melihat mimpi yang indahnya semakin merah. Semakin jingga. Semakin sempurna bila bersanding denganmu, Dya. Tolong perhatikan apa yang tersurat. Terlagi yang tersirat. Sebab segalanya indah jikalau semua berakhir dengan romansa.
(IPM)

Bandung, Maret 2012
 
#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers