Kronologi Pertemuan

May 26, 2012


Siapa yang mengira kita dipertemukan? Siapa pula yang menjaga setiap perjumpaan?

Jawabnya bukan aku. Barangkali kamu? Namun, kau juga tak mengiyakan, tak mengangguk memberi tanda setuju. Kukira setiap perjumpaan adalah murni telah diatur. Hingga setiap aral tak sanggup menghalang, tak mampu menghadang. Tapi, setiap kucari jawabnya, selalu saja berakhir dengan tanda tanya. Tak menemukan sebait alibi atasnya.

Dya, ingatkah kau? Ingatkah kau ketika kita dipertemukan di persimpangan jalan itu? Jalan yang lurusnya kukira tak berujung, hingga aku lelah mencari garis tepinya. Namun, siapa yang menyangka di antara lekuknya yang kian panjang kita dijumpakan. Tepat ketika aku berlalu membawa tinggi-tinggi langkahku, kau memanggil seraya menyapa dari kedekatan.
 

“Zal...Rizal...” teriakmu.

“Iya,” balasku seraya memasang berjuntai senyuman.

Tahukah jikalau sesungguhnya aku tak tahu kau berjalan dari mana, juga tak mengerti kau akan ke arah mana, atau bisa saja tiba-tiba kau ada saat aku mulai melangkah. Semua tak kuketahui. Seraya menghargai manis wajahmu, aku menghangatkan suasana senja kali itu dengan lamat-lamat memandang sepasang mata yang indah. Mata penuh binar yang tak mampu dilukiskan kata. Kutakzimkan jua suhu di sana berubah tinggi, meskipun gerimis senantiasa mengguyur kota D di tiap pucuk-pucuk hari.
***

Sekarang, aku yang terlebih dahulu memulai kisah ini justru tak sanggup untuk menghenti. Selalu saja aku menanti tiap sapamu yang renyah. Yang membekukan hening kata menjadi bingkai-bingkai cerita. Kau bahkan kukira seperti candu, karena rasa ingin bertemu senantiasa tercipta kala kutak melihatmu di antara sepetak waktu.

Jikalau ingin berbalik ke pertemuan lain, barangkali akan kukisahkan sebuah momen di penghujung hari. Sebenarnya tiada yang tahu kapan sebuah hari tepat dimulai serta waktu yang mana ketika hari akan rapat diakhiri. Namun, biarlah aku menyebutnya dengan penghujung hari. Sebab ketika itu semua sedang bergegas pulang, seluruh orang bergerak menjauh menuju halaman masing-masing. Sedang kau hanya berdiri sambil sesekali bercakap dengan teman sebayamu yang  lain. Kalau boleh jujur, sungguh aku sedari tadi memperhatikanmu dengan seksama. Hingga pandanganmu tak lagi bisa lari menjauh dari segala indera. Semacam sudah tertangkap dalam perangkap yang tidak sengaja kubuat. Sebab bukan aku yang merencana, tapi kau yang mengundangnya.

Kudekati kau dengan hati-hati. Dengan sepenuh langkah tapi getar senantiasa terpancar dalam jangka. Pelan. Lantas sebelum aku bisa menyapa, justru kau lebih dahulu menebar senyum terindah. Kau menipiskan bibir merahmu yang cantik nan anggun, seraya berkata salam yang renyah, disambung memanggil namaku dengan nada-nada khas kotamu. Entah itu sekadar dialeg atau hanya intonasi biasa aku tak menaruh banyak perhatian. Namun, yang kutahu satu: dari pertemuanku denganmu, aku menaruh cinta.

Dya, dalam alibiku, aku beranggapan kalaulah kau yang mengundangku untuk datang di setiap malammu. Merangkai mimpi-mimpi yang belum sempurna hingga benar jadi dan siap kita wujudkan bersama. Dan sungguh aku tak mau segalanya berubah, meski aku mengerti kini kau masih menginginkannya. Namun, jikalau nanti di sisa harimu kau kecewa karenanya, larilah saja ke sini. Ke halamanku yang telah kusiapkan untukmu. Tenang saja. Lekas atau lambat bukanlah sebuah masalah. Sebab segala spasi hati telah tertambat utuh wajahmu yang sejati: Dya, aku jatuh hati...
(IPM)

Bandung, Mei 2012

#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers